OLEH : LA YUSRIE
Ini kisah Wandiu Diu yang mengalur membawa ajaran. Ajaran agar tak
mengkasari wanita dalam hal apapun juga. Ajaran betapa sangat besar cinta kasih
seorang ibu pada anak darahnya sendiri. Meskipun kadang-kadang anak tak tahu
berterima kasih, lupa berkasih membahagiakan ibunya setelah besar. Sang Ibu
terus tabah dalam sabar. Kasihnya tak berbatas biarpun tak berbalas. Hanya
memberi tak meminta kembali semua yang telah diberinya itu. Kasih ibu sepanjang
jalan, kasih anak sepanjang galah. Ini dongeng yang tandas, juga menyasar
perihal soal paling pelik dalam silang sengkarut dan rumitnya hubungan cinta
kasih manusia. Bahwa tidak selalu pilihan sendiri adalah baik. Terlalu sering
justru yang dibawakan orang tualah yang kemudian terbaik bisa menjaga dan
membahagiakan. Inilah Wandiu-Diu si Puteri Duyung, perempuan malang yang
memintal sendiri nasib takdirnya. Mengira lelaki yang datang membawa surga
bahagia sebagaimana iming janjinya dimula-mula bertemu. Di tengah jalan lelaki
itu menelikungnya, neraka deritalah sebenarnya yang ia bawakan.
Ini kisah Wandiu-Diu. Perempuan malang yang rela menerima siksa dari lelaki
suami pilihannya sendiri. Karena sayang kasihnya yang besar pada anak-anaknya
ia rela menerima diperlakukan kasar oleh lelaki yang seharusnya mengasihinya.
Ia yang tak tega melihat badan anak-anaknya menjadi sasaran pukul tangan kasar
lelaki suaminya sendiri yang adalah ayah muasal darah dan daging anak-anaknya
itu. Ia yang mendorongkan badannya dan menyimpan masuk anak-anaknya dalam
rengkuh dekap pelukannya untuk melindungi kedua anaknya itu dari pukulan tangan
kasar dan sepak kaki ayah mereka sendiri. Dia yang berdiri menyodorkan badannya
saja untuk dipukuli asal jangan badan anak-anaknya disentuh tangan kasar dan
sepak keras kaki ayah mereka sendiri. Wandiu-Diu perempuan sabar bernasib samar
yang diikat takdir dalam kemiskinan yang memiriskan hati, dalam derita berbulus
cinta yang indah. Dalam cinta perih lelaki pembual.
Wandiu-diu wanita bernasib malang itu, pergi membawa diri ke laut. Lari menghindari
suaminya yang kasar tak pengasih. Ia pergi meninggalkan dua anak terkasihnya
yang masih dalam ingusan dan menyusu. Ia berlari sekuatnya di tepi pantai ujung
kampung mereka dan membuang diri dalam gulungan ombak laut musim barat.
Berpuluh tahun kemudian wanita malang ini muncul di pantai itu, tangan badanya
bersisik, kaki kiri-kanannya melekat bersatu menjadi ekor. Dia yang kini kita
kenal sebagai--Puteri Duyung atau di kampung kami di Buton dinamai ia Wandiu
Diu.
* * *
Wandiu Diu beranak dua. Lelaki kelamin kedua anaknya itu. Si Sulung
dinamainya Lacurungkoleo dan si Bungsu diberinya nama Lambata-mbata. Wandiu-Diu
sangat menyayangi dua buah hatinya itu, lebih-lebih pada si Bungsu
Lambata-Mbata yang baru merangkak berjalan dan masih menyusu. Karena sayang
yang besar itulah sehingga ia selalu meluluskan ingin kemauan kedua anaknya
itu. Bahkan mungkin sekalipun harus memberi nyawa. Sekalipun harus melanggar
perintah larangan suami yang tidak mencintainya.
Rumah tinggal mereka tepat di bibir pantai sehingga mereka telah terbiasa
dengan bunyi gelumbang yang bergulungan membanting diri ke pantai setiap kali
musim barat. Musim barat di kampung pantai adalah musim berombak besar. Laut
seperti bergolak. Ketika itu kemarau diambang pergi, musim barat berhujan
menjelang tiba. Ayah mereka berhenti melaut karena takut pada besarnya gulungan
ombak itu. Tetapi beberapa ikan tangkapan nya selama musim timur yang teduh
telah dikeringkan sebagai persiapan lauk selama musim dalam barat. Tampak
daging ikan tengiri yang telah dibelah dan digarami menggantung-gantung diambin
dapur mereka. Lure kering tampak pula ikut menggantung di situ.
Suatu hari, suami Wandiu-Diu berpamit pergi ke kebun mencari ubi dan jagung
untuk makan mereka. Beberapa kali suaminya itu mengingatkan Wandiu-Diu sebelum
meninggalkan rumah agar ikan tengiri kesukaannya yang telah dikeringkan tak
boleh disentuh-sentuh, tak boleh diambil-ambil. “Ambilkan saja anak-anak ikan
lure yang telah saya keringkan itu, tengiri kering itu jatah bagian saya,
jangan berani disentuh, jangan berani diambil-ambil!” tandasnya sembari
memasukan parang dalam sarung yang ia sandangkan dipinggulnya. Dan selalu
seperti biasa, tak ada jawaban keluar dari mulut Wandiu-Diu selain kata “iya”
saja, dengan menunduk ia mengucap iu sebagai patuh segannya pada suami, lelaki
yang dipilihnya sendiri itu.
Wandiu Diu melepas suaminya pergi di pintu serambi depan rumah mereka.
Diikutinya dengan pandangan gerak langkah suaminya itu, sampai jauh, sampai
jarak mengambilnya dari pandangannya. Ia terus berdiri, mematung terpaku di
situ, tak dirasai matanya sebak kemudian menaik sembab dan berair. Ia seperti
menyesali telah memilih dan mengambil lelaki itu sebagai suaminya, sebagai ayah
dari anak-anaknya. Lelaki yang mula-mulanya datang menghadap mengiba-iba kasih
cintanya, memohon-mohon begitu lembut penuh kasih tetapi kemudian sontak kejam
dan tak berbelas kasih bahkan pada anak darah dagingnya sendiri. Telah beberapa
kali Si Sulung Lacurungkoleo merasai tampar kasar tangan ayahnya. Apalagi
Wandiu Diu telah tak terhitung kali dikasari. Maka ia mengutuk nasibnya
sendiri, nasib yang membawanya diketerpurukan dan kemiskinan. Nasib yang
membawanya pada lelaki kasar pilihan hatinya sendiri. Lama ia mematung itu,
berpikir menghayal-hayal, mengingat masa gadisnya dulu yang periang. Ia
direbutkan banyak lelaki karena kulitnya yang langsat, karena ayu wajahnya yang
rupawan dan molek tubuhnya yang liat. Badan tubuhnya dipahat Tuhan aduhai
indah, bak semut berpinggang kecil sejengkal dengan bokong pinggul yang
semontok kelok tomat, menjadilah ia bunga desa di kampung pantai itu. Telah
banyak lelaki bawaan orang tuanya mentah-mentah ia tolak. Ia kukuh pada pilihan
nya sendiri, naik menikah dengan lelaki kekasih pilihannya sendiri.
kekasih yang kini jadi suami dan telah memberinya dua buah hati itu dulu
baik lembut sopan sekali. Tak samasekali memperlihatkan kasar kerasnya. Rupanya
kini ia sadari bahwa ia telah kena tipu lelaki, lelaki yang hanya menginginkan
molek badan raganya, tak pernah sesungguhnya mencintainya. Ia merasa berdosa
telah menolak lelaki yang dibawakan orang tuanya. Adakah orang tua yang mau
anaknya berkalut dalam susah derita? Adakah orang tua membawakan seorang yang
salah untuk anak darahnya sendiri? Tentu tak ada. Menyadari salah kelirunya,
mata Wandiu-Diu yang sembab berair kini berbulir. Tak pelak lagi, bulir-bulir
air yang menggantung itu kemudian jatuh bergulungan menyeberangi pipinya. Ia
menangis dalam diam.
* * *
Tangis rengek minta susu Lambata-mbata menyadarkan Wandiu-Diu dari tangis
diam dan hayal lamunan masa lalunya. Ia bergegas ke suo (ruang tengah)
tempat datang suara rengekan itu. Ia mengangkat Lambata-mbata, dinaikannya ke
pangkuannya. Ia sapih anak terkasihnya itu, penuh sayang, penuh cinta.
Dihiburnya anak itu dengan nyanyian kabanti dan kafoedho tapi
Lambata-Mbata tak bisa tenang, gelisah dalam gendongan ibundanya itu. susu pada
dadanya telah pula disodorkannya, tetapi Lambata-mbata hanya meneguknya sekali
saja. Kali lainnya ia menangis lagi. Tangan telunjuknya menunjuk-nunjuk di
ambin dapur mereka tempat ikan tengiri kering berayun-ayun digantungkan.
Hati Wandiu-Diu gundah teriris seperti dikenai sembilu. Si bungsu
terkasihnya Lambata-mbata menangis sesenggukan meminta sesuatu yang terlarang.
Ia merengek-rengek meminta ikan tengiri kering dibakarkan untuknya.
Berbagai-bagai upaya dilakukan Wandiu-Diu untuk mendiamkan rengekan
Lambata-mbata itu. Ia emongi lambata-mbata dalam gendongan nya. Ia ayun memakai
gendong dua tanganya dan dinyanyikannya pula lagu kabanti. Ia dorongkan
susunya ke mulut Lambata-mbata. Ia sapui lembut rambut kepalanya dengan
tanganya, tapi tak mempan, tak bisa mendiamkan tangis Lambata-Mbata.
Lambata-Mbata masih terus terus merengek, kaki mungilnya menendang-nendang,
bahkan kemudian rengekan itu menaik menjadi tangis menjerit-jerit. Telunjuk
mungilnya menunjuk-nunjuk ikan tengiri kering yang bergantung di bawah ambin
tempat menggantung periuk dan alat memasak lainnya di dapur rumah mereka.
Wandiu-Diu bingung bukan kepalang. Diingatan kepalanya terngiang-ngiang pesan
suaminya yang tegas mengancam agar tengiri itu tak boleh disentuh-sentuh
apalagi hendak diambil untuk dimakan. Tapi Ia tak pula sampai hati melihat dan
membiarkan anak yang disayanginya itu terus menangis. Maka sayang pada anaknya
mengalahkan takut pada suaminya. Ia memanggil Lacurungkoleo dan nekat
menyuruhnya memotongkan sedikit tengiri kering itu lalu dibakarkan untuk
Lambata-mabata. Usai memakan tengiri kering itu Lambata-Mbata terlelap tidur di
pangkuan bunda terkasihnya, tak lagi menangis, tak lagi merengek.
Sore hari, matahari pulang ke peraduan. Suami Wandiu-Diu pulang pula ke
rumah kediamannya. Di muka pintu, Wandiu Diu berdiri menyambut. Membantu
mengangkati beberapa ikat jagung dan ubi kayu yang dibawa suaminya dari kebun.
Tiba-tiba saja dari balik dapur rumah reot mereka suaminya berteriak lantang
memanggilnya keras sekali: “Diu……!!!”. Wandiu-Diu tersentak kaget. Ia terkesiap
bergegas menujui muasal datang suara itu, di dapur. “Siapa yang berani mengambil
ikan tengiri kering saya, bukankah sudah kuingatkan jangan sekali-kali
menyentuhnya?!!” teriak suaminya dalam amarah. “Anu Ama..,Lambata-Mbata
tak mau memakan apapun, hanya meminta sedikit itu saja. Ia terus menangis, saya
kasihan dan tak sampai hati melihatnya terus menangis” Jawab Wandiu-Diu dalam
tunduk, takut menantang mata suaminya. “Jadi kau tak lagi patuh pada saya?
Berani kau melawan saya sekarang?!!” Amarah suaminya membuncah meluap-luap
seperti air yang dididihkan. Matanya melorot tajam, dua alis tebalnya seperti
saling mengait bersambungan. “Tidak, tidak semasekali. Bagaimana saya tidak
patuh pada suami sendiri, bagaimana mau saya melawan pada suami sendiri?
Wanita, sekuat-kuat bagaimanapun tetap saja tak bisa menandingi kuat perkasanya
lelaki”. Wandiu-Diu memelas. Ia jatuh terduduk, nyalinya ciut, surut meriut
seperti keong. Ia duduk terpekur meremas lantai, memelas-melas minta dibelas,
minta dikasihi. Dalam duduk itu ia membayangkan tangan kasar suaminya akan
kembali datang menubruk mukanya. Dan benar saja sebuah tamparan dari telapak
yang kasar melayang secepat kilat mengenai mukanya. Ia disepak, ditendang
didorong-dorong pula. Merasa telah diperlakukan kasar berlebihan, bangkit
keberanian Wandiu-Diu. Ia berdiri dari duduknya, melawan pandang suaminya yang
memelototinya. Tapi pukulan terus datang mengenai badan tubuhnya. Sebilah
dayung dari kayu yang keras patah berantakan di punggungnya. Ia kemudian
melompat turun dari rumahnya. Lari ke laut membuang diri, menenggelamkan badan
tubuhnya di gulungan ombak laut musim barat yang ujung buihnya meliuk-liuk
setinggi gunung besarnya membanting diri ke pantai.
* * *
Telah sehari semalam Wandiu-Diu tak di rumah. Tak pulang-pulang sejak
gulungan ombak laut mengambil badan dirinya. Si Bungsu Lambata-Mbata terlelap
tidur di pangkuan kakaknya Lacurungkoleo. Malam telah larut ketika
Lambata-Mbata terkulai lemas karena seharian capek menangis meminta susu yang
tak kunjung datang. Ia menangis karena telah beberapa hari tak merasai rengkuh
kasih gendong ibunya sebagaimana biasanya. Sejak ibunya pergi Lacurungkoleo
mengambil tugas-tugas ibundanya menyuapi makan dan menidurkan Lambata-mbata.
Tapi Lambata-Mbata merasai kering lehernya tak minum susu, susu dari buah badan
ibu nya sendiri. Maka ia menangis, terus-terus menangis di pangku gendongan
tangan kakaknya yang keras kasar karena kurus tak berdaging menanggung susah
derita hidup-Lacurungkoleo.
Berjalan terus waktu seperti itu, hingga sebulan lama berselangnya. Mata
Lambata-Mbata meriut cekung serupa mata burung hantu karena terlalu banyak
menangis dan jarang benar terlelap tidur, daging pada pipinya menjorok masuk,
tulangnya tampak meruak keluar, perutnya besar, buncit membengkak serupa nangka
di puncak matang. Ia kurus dekil karena tak minum susu, tak memakan gizi.
Tampak seperti kulit hanya membaluti tulang saja karena tak mau makan. Dalam
sebulan ini tak cukup sepiring makanan telah masuk ke perut mungilnya. Tak ada
mau ia makan, tak ada mau ia apapun kecuali hanya ingin ibunya pulang. Ia hanya
ingin disusui ibunya, ditimang penuh kasih dalam nyanyi lirih Kabanti.
Ia hanya ingin tidur dipangku gendong Ina nya.
Sebagai kakak, Lacurungkoleo tak sampai hati melihat penderitaan adik
sekandungannya itu terus-terus berlarut begitu. Meskipun ia sendiri merasai
derita yang menyayat hati ditinggal pergi ibunda pelindung dan penjaga mereka
dari amuk dan pukul tangan kasar ayah mereka. Tetapi ia tahu bahwa adik
sedarahnya itu jauh lebih menanggung derita. Dia masih belum genap empat bulan
usia umurnya nongol melihat bumi fana ini tetapi telah merasai derita yang
teramat dalam, kelam pilu mengiris hati. Dia masih butuh menetek disusu ibunya,
tetapi nasib menggaris lain, takdir jatuh di luar yang dikehendaki. Karena ulah
dan perlakuan kasar Ayah mereka, dalam panik dipuncak amarah, tanpa berpikir
panjang, ibu terkasih mereka pergi berlari ke tepi pantai di ujung kampung
mencebur diri ke laut, membiarkan diri dan badan tubuhnya diambil lalu digulung
diambingkan gelumbang laut musim barat yang lidah buihnya menjulur-julur
setinggi gunung. Ia diseret oleh gulungan ombak itu hingga membawanya ke laut
lepas jauh nan luas. Dan kini keduanya harus menghadapi kenyataan pahit,
kehilangan orang terkasih yang penyayang diusia ketika mereka masih membutuhkan
belai kasih nya. Diumur masih sejagung keduanya telah kehilangan tempat
berkeluh menyandarkan hati, tempat menumpah semua-mua rasa yang menggalaukan
hati. Diusia yang masih belia, mereka berdua telah menjadi piatu-kehilangan Ibu
terkasih.
* * *
Entahlah terbuat dari apa hati ayah kedua anak malang yang pergi ditinggal
ibunya ini. Seperti tak ada belas kasih, tak ada perlakuan yang menunjukan
menyayangi kedua buah dagingnya sendiri itu. Sekalipun Lambata-mbata telah
sekerasnya menangis, samasekali tak ada perhatian mendekati membelai untuk
mendiamkannya. Malah dengan kasar ia meneriaki Lacurungkoleo agar mendiamkan
adiknya itu. Jika tak diam, maka berondongan makian kata-kata kasar sebagai
anak tak tahu diri, anak tak tahu mengabdi pada orang tua akan keluar meluncur dari
mulut si ayah pongah itu. Bahkan jika itu dirasainya tak cukup memuaskan nafsu
keinginannya sebuah tamparan akan ia layangkan, atau jika dengan itu masih tak
puas pula, sebilah kayu dari potongan papan yang keras akan ia hantamkan ke
kaki betis Lacurungkoleo sehingga selalu setelah itu seperti ada bekas
bergaris-garis biru lebam mendatar di betis kaki hingga belakang paha kecil
anak malang itu.
Tapi Lacurungkoleo tabah dalam sabar. Ia telah tahu sifat sikap ayahnya. Ia
tahu pula bahwa ayahnyalah yang menjadi sebab ibu mereka pergi . Ayahnyalah
yang menjadi pemantik datang musibah yang kemudian memiatukan mereka.
Menghilangkan ibu terkasih mereka dari rengkuh dekap tangan mungil yang
melindungi mereka dari dingin udara malam, dekap peluk yang melindungi mereka
dari panas menyengat udara laut siang hari. Karena itulah dari dalam hatinya
menyeruak sikap tak senang pada ayahnya. Benih kebencian pelan-pelan tumbuh
membiak dalam hati Lacurungkoleo. Tapi benci yang tak pernah membuah tampak
dipermukaan itu hanya disimpannya saja, dipendam di tempat terjauh paling dalam
di hatinya. Perasaan takutnya mengalahkan kebencian itu tampil terlihat. Ia tak
pernah berani melawan tatap pandang menantang ayahnya yang memelototinya. Ia
tak pernah berani membangkang kata-kata ayahnya. Seperti kerbau yang dicocok
hidung mulutnya mengikut kemana mau tuannya. Tuannya itu sebenarnya adalah
Ayahnya sendiri
* * *
Malam turun dari langit, menggandeng gulita pada datangnya, seketika
sekeliling menjadi gelap. Di langit tampak Kelelawar dalam jumlah ribuan
bergerak segerombol menujui hutan di pulau seberang. Di laut nun jauh tampak
lampu-lampu perahu nelayan berkedap kedip diayun turun naik gelumbang. Di
serambi belakang rumah mereka duduk menghadap ke laut lepas. Lacurungkelo memangku
Lambata-Mbata dalam gendongannya, tapi Lambata-Mbata berontak dalam rengkuh
gendongan kakak nya itu karena yang dimintanya tak kunjung datang, yang
dirindukannya tak kunjung pulang. Ia telah menangis lama panjang sekali, bahkan
hampir seluruh harinya ia jalani hanya dengan menangis saja, pun malam-malamnya
juga begitu. Ia rindu Ina nya pulang, ia rindu menyusu pada Ina
nya.
Malam-malam dilewati Lambata-Mbata dengan menangis saja. Tak mau ia makan,
tak mau ia apapun. Ia hanya ingin menyusu pada buah dada Ina nya. Telah
banyak Ina-Ina tetangga yang menaruh iba dan kasihan datang
menyodorkan susu dadanya ke mulut Lambata-Mbata tapi Lambata-Mbata enggan
membukakan mulut bibirnya. Ia katup rapat-rapat mulut bibirnya itu menolak
semua susu, selain hanya susu ibunya saja. Ia bergeming bahkan tak sedikitpun
menolehi susu itu. ia hanya ingin susu emak nya, yang ia ingini hanyalah diri
emaknya kembali pulang. Ina-Ina itu pulang membawa iba mereka,
mengasihani nasib gelap kedua anak malang itu.
* * *
Musim barat yang berhujan berganti kemarau yang panas. Langit yang biasanya
gelap berawan kini cerah. Laut yang biasanya bergemuruh oleh gulungan gelumbang
yang berdentum membanting diri ke pantai, kini tenang, teduh seperti air di
danau saja. Musim kemarau di kampung pantai adalah musim keceriaan dan
bergembira. Anak-anak seumur Lacurungkoleo bermain girang di bawah matahari
yang cerah. Mereka berlarian di pinggir pantai mengejari kepiting pantai yang
bersembunyi di dalam lubang tanah atau bermain kapal-kapalan yang dibuat ayah
mereka dari sabuk cangkang kelapa. Ah, ini masa indah, masa langit cerah, laut
teduh di mana semua kemauan bermain-main diluapkan, ini masa yang dirindukan
semua anak pantai-Kemarau yang panas dan cerah.
Di kemarau begini ini jika malam hari pada bulan yang purnama bukan main
indah permainya. Rembulan tersenyum tanpa segumpal awanpun menghalanginya. Di
bawah sinar rembulan itu anak-anak riang berlarian saling mengejari. Anak-anak
di kampung pantai menyebut permainan begini ini sebagai permainan kera-kera.
Atau jika capek saling mengejari, sebuah lingkaran penuh akan dibentuk
anak-anak itu memakai tangan saling berpegangan. Di tengah lingkaran telah ada
dua orang yang mata mereka ditutupi kain. Dua orang yang matanya ditutupi kain
itu kemudian masing-masing akan diberi tugas, seorang mencari dan seorang
lainnya dicari. Jadilah kemudian yang mencari dan dicari itu tontonan yang
mengakakkan. Ini di kampung pantai main seperti ini dinamai Kucing-kucingan.
* * *
Matahari baru sejengkal naik merangkaki bukit di ujung kampung pantai.
Langit cerah, angin dari laut bertiup sepoi sepagi itu melambaikan nyiur yang
batangnya menjulang tinggi-tinggi tumbuh mendereti bibir pantai kampung pantai.
Laut surut hingga jauh. Tampak burung bangau berjalan pelan mencari mangsa. Di
udara elang berseliweran mengintai mangsa pula. Sesekali ia turun menyambar
cepat sekali lalu kemudian naik terbang lagi dengan kaki menggenggam mangsa
incarannya. Ikan kecil atau kepiting meliuk berontak pada cakarnya. Tapi
genggam cakar elang terlalu kokoh, tak ada bisa lepas jika telah dalam genggam
cakarnya. Perahu-perahu nelayan datang dan pergi, yang datang melipat turun
layarnya, yang pergi mengibar menaikan layarnya. Suasana pagi di kampung pantai
dihiruk oleh hilir mudiknya perahu, gesitnya bangau mengapit kepiting pada
mulut panjangnya, awasnya elang dari udara yang bersiap menggenggam dengan
cakarnya, juga angin yang bertiup sepoi yang melambaikan daun pohon kelapa yang
berjulang tinggi-tinggi tumbuh berbaris memenuhi bibir pantai di kampung
pantai.
Tak mencapai terik siang hari, laut telah pasang. Airnya meruah naik
menjilati sepenuh bibir pantai. Tak lagi ada bangau yang berseliweran terbang
mencari mangsa, hanya elang saja yang masih berputar-putar awas mengincar anak
ayam yang ditinggal terlepas dari induknya. Angin bertiup tak lagi sepoi,
menaik berhembus sedikit kencang menimbulkan gelombang-gelombang kecil yang
meriak di permukaan laut. Diam-diam ketika ayah mereka sedang di kebun,
Lacurungkoleo menggendong Lambata mbata membawanya ke tepi pantai di ujung
kampung tempat Ibunya dahulu lari mencebur diri dalam gulungan ombak laut musim
barat. Di sepanjang jalan menuju tepi pantai ujung kampung, rambut kedua anak
malang itu berkibar-kibar ditiup angin laut. Lacurungkoleo memakai tanganya
melindungi kepala adiknya itu dari panas matahari yang terik dan udara laut
yang panas. Seakan tahu hendak ke tempat ibunya mula-mula pergi, Lambata-mbata
tenang dalam gendongan. Biasanya jika ia digendong Lacurungkoleo rewel
ngambeknya minta ampun. Ia berontak dan merengek-merengek menangis, tapi kali
ini tidak, ia menurut dan diam tenang-tenang saja.
Di pinggir pantai ujung kampung itu mereka hanya berdua saja, berdiri
disitu, tak ada orang lain. Semilir angin datang menyapui muka mereka. Di bawah
rimbun daun pohon Bucu/Butu (Baringtonia asiatica) yang rindang mereka
berdiri meneduhkan diri, berlindung menghindari panas yang makin terik. Tampak
air laut silau berkilau dikenai matahari yang bersinar cerah. Juga layar-layar
yang tadi tampak hanya sedaun kelor, kini telah seperti kain sarung besarnya.
Tampak makin dekat datang menujui kampung mereka. Nelayan-nelayan itu telah
pulang dari melaut, kembali membawa ikan dan segala hasil laut untuk makan
kebutuhan keluarga mereka.
“Malang nian nasib
kami ini. Jika saja ayah ku sebaik seperti mereka tentu akan sangat
membahagiakan sekali hidup ini. Ibu tak perlu harus pergi meninggalkan kami,
tak perlu harus membuang diri ke laut ini” Batin Lacurungkoleo. Matanya
memerhatikan nelayan-nelayan yang baru bersandar mencapai bibir pantai, sibuk
disambuti dengan riang oleh anak istri mereka.
Ketika laut dan pantai kembali sepi, ia berdiri menghadap samudera luas nun
jauh. Pandangannya menerawangi ke tempat terjauh di ujung lautan itu sembari
berkhayal-khayal menduga di sanakah kini ibunya berdiam tinggal? Ia berharap
Ibunya datang di tempat ia berdiri itu. Tempat ketika mula-mula ia pergi dulu.
Di situ itu ia berdiri lama sekali. Dalam lirih nyanyi ia lantunkan syair
dengan sedih berharap ibunya datang, biarlah hanya sesaat saja, asalkan ia
datang, datang menyusui Lambata-mbata, adiknya yang malang, yang kurus dekil
tak berdaging, kulit hanya membaluti tulang saja karena lama tak merasai
nikmatnya susu dari dada ibu sendiri sebagaimana anak-anak lainnya.
Bermusik bunyi daun
pohonan pinggir pantai dan nyiur melambai yang digesek angin, berulang-ulang
Lacurungkoleo melantunkan nyanyi sedih sepenuh penghayatan, berharap-harap
keajaiban dari Tuhan turun membawakan ibu mereka kembali pulang. Begini syair
lagunya;
Aule
wandiu-diu maipasusu andiku
Andiku
lambata-mbata
Akaaku
Lacurungkelo
Duhai
wandiu-diu, datang susui adikku
Adik ku
Lambata-mbata
Akulah
ini kakaknya-Lacurungkoleo
Telah berulang syair itu dinyanyikannya, telah tak terhitung kali, tak ada
sesuatupun terjadi di situ. Rahmat tak turun, Tuhan tak mengabulkan doa dalam
nyanyi pilu itu. Tak ada keajaiban yang turun. Ibu mereka tak datang.
Matahari diambang terbenam ketika mereka akhirnya bergegas pulang
meninggalkan tepi pantai di ujung kampung mereka. Lambata-mbata berontak dalam
gendongan, seperti hendak tak mau pulang. Dalam tangis dan berontak
Lambata-mbata digendongannya, Lacurungkoleo terus berjalan pulang dengan
langkah cepat setengah berlari. Mereka sudah harus ada di rumah sebelum ayah
mereka mendahului tiba, pulang dari kebun. Sesuatu yang buruk telah pasti akan
mereka alami jika ayah mereka ternyata telah ada di rumah sebelum mereka tiba.
Apalagi pelindung dan penjaga yang adalah Ibu mereka sendiri telah tiada. Maka
pastilah semua hukuman akan mulus jatuh mengenai mereka. Maka Lacurungkoleo
menguatkan peluk gendongnya, mengayun langkahnya cepat-cepat. Berjalan setengah
berlari pulang ke peraduan mereka.
Yang ditakutkan Lacurungkoleo pada akhirnya menjadilah kenyataan. Ayah
mereka telah di rumah. Tiba duluan hanya sesaat sebelum mereka. Dari balik
semak Lacurungkoleo mengintip, berjalan merayap-rayap menyembunyikan badan dan
kepala di balik dedaunan yang tumbuh liar berjalaran di samping rumah mereka.
Sesekali ia mendongak memastikan ayah mereka masih belum naik di rumah. Ketika
melihat ayahnya masih dikolong rumah sibuk membereskan bawaannya, gesit ia
mendekati tangga belakang. Mengendap-endap ia berjalan dan naik pelan serupa
kucing mengintai mangsa. Berjalan setengah tiarap, menginjak lantai memakai
ujung kaki. Rupanya remang jelang malam ikut pula membantu. Ia tiba dan naik di
rumah tanpa kelihatan dan diketahui ayahnya. Aman selamatlah mereka berdua hari
itu. Mereka bisa melalui malam tanpa penghukuman dan amarah.
* * *
Kokok ayam bersahut-sahut, menyambut datangnya pagi. Langit di timur tampak
kesumba, pertanda sebentar lagi matahari akan naik. Lacurungkoleo bangkit,
bangun dari tidurnya. Sebelum bergegas ke dapur, ia duduk kembali melihat
lekat-lekat pada wajah adiknya Lambata-mbata yang tergolek dibuai tidur di
sampingnya. Ia senang karena tidak biasanya Lambata-mbata begini lelap
tidurnya, biasanya sebelum ayam berkokok ia telah mendahului bangun. Jarang
benar mendapatkan lelap, ia selalu gelisah dalam tidurnya. Sarung yang tercecer
ke kaki ia tarik kembali. Ia naikkan, menutupkannya ke badan adik yang
dikasihinya itu. Terdengar suara ngorok dari ruang depan kamar mereka. Berderum
seperti suara napas sapi usai disembelih. Ayahnya masih pula tidur rupanya.
Telah memang kebiasaan, ayah mereka itu tak bangun-bangun sampai matahari telah
menaik tinggi. Tak ada berani membangunkan, dirinyalah sendiri yang
membangunkannya.
Suara lesung yang ditumbuk malu-malu terdengar lemah nyaris tak bersuara.
Lacurungkoleo menumbuk ubi dengan pelan takut mengganggu dan membangunkan tidur
ayahnya. Ia memang saban pagi menyiapkan bubur dari bubuk ubi yang telah
ditumbuknya hingga halus. Bubur dari bubuk ubi yang dihaluskan inilah makanan pokok
Lambata-mbata setiap hari. Atau jika tak berselera pada ubi halus yang ditumbuk
itu, jagung yang digiling halus akan menggantikannya. Dua jenis inilah yang
digilir makan sehari-hari disesuaikan mau selera Lambata-mbata.
Matahari telah menaik tinggi, nyaris tepat di ubun-ubun, ayah mereka
bangunlah pula. Bergegas ia ke serambi tempat biasa dua anaknya itu duduk
melihat lautan, membayang-bayangkan disanalah mungkin tempat kini ibu mereka
berdiam tinggal. “Sudah kau beri makan adikmu?” suara serak tegas meluncur.
Lacurungkoleo terhenyak kaget. Ia mengenali suara itu. suara ayahnya.
Cepat-cepat ia membalikkan badan, menghadap ke muasal datang suara itu,
berkata. “Sudah Ama” Jawab Lacurungkoleo patuh dalam tunduk. “Bagus, kau
jagai adikmu baik-baik. Saya mau ke kebun. Jangan keluar tinggalkan rumah. Ubi
masih ada, kugantung di ambin sana, ambil dan tumbukkan untuk makan siang
adikmu”. “Iya Ama” sambut Lacurungkoleo masih dalam tunduk. Nampaknya
lantai masih lebih menarik daripada muka mata ayahnya. Setiap kali berbicara
dengan ayahnya ia lebih memilih menunduk saja, memelototi lantai daripada
mendongak melihat muka mata ayahnya.
* * *
Lacurungkoleo menggendong Lambata-mbata membawanya ke tepi pantai di ujung
kampung mereka tempat dulu ibu mereka pergi. Kembali di sana ia lantunkan
nyanyi pilu itu. Tiba-tiba saja nun jauh di sana lautan berbuih. Buih yang
datang menujui mereka. Lacurungkoleo menghentikan nyanyiannya karena kaget dan
takut dengan buih yang datang makin mendekati mereka itu. Hendak ia berlari,
tetapi suara dari seseorang menghentikannya. “Jangan takut anakku. Ini aku
ibumu, ibu kalian!!”. Langkah Lacurungkoleo surut terhenti, tak jadi membawa
diri berlari. Di gendongannya Lambata-mbata meliuk-liuk seperti cacing kena
injak. Ia sepertinya tahu bahwa ibunya memang telah datang. “Jangan takut,
kemarilah mendekat. Ini aku, ibumu, ibu kalian”. Sesosok kepala menyeruak
muncul di permukaan, menyembunyikan badan kakinya di dalam air. Lacurungkoleo
memerhatikan lekat-lekat kepala itu. melihat pada mukanya. Tak berkata-kata, ia
hanya menangis saja. Memang Ibunyalah yang datang itu. Maka bertangisanlah
mereka berdua di situ itu di tengah liuk gerak merengek lambata-mbata yang
gesit melahap susu di dada ibundanya itu.
Selalu setelah itu, di pantai itu, Lacurungkoleo dan Lambata-mbata datang
melarung rindu di situ. Diam-diam tanpa diketahui ayahnya. Mereka berdua
siang-siang menyusur pantai menujui ujung kampung menyambut datang ibu mereka.
Selesai.
Catatan.
-Wandiu-Diu
= Si Puteri Duyung
-Ina = Ibu,
Emak
-Ama = Ayah
-Kabanti =
Nyanyian rakyat tradisional di Buton
-Bucu/Butu = Jenis
pohon yang khas, biasa tumbuh di tepi pantai pulau Buton

Tidak ada komentar:
Posting Komentar