GU LAKUDO

GU LAKUDO
Masjid Agung Nurul Huda Gu-Lakudo

Rabu, 19 September 2012

LAJUMAILI SANG PUTRA GU LAKUDO #2



BAGIAN II




LAJUMAILI MENYIKAPI POLITIK DI GU LAKUDO

 
Tidak banyak memang perbedaan Lajumaili dengan kawan-kawannya yang lain dalam menyikapi tentang perpolitikkan di tanah Gu Lakudo. Mengingat Lajumaili adalah satu figur yang boleh dikatakan telah mewakili jiwa dan tingkah remaja Gu Lakudo secara menyeluruh yang telah mencapai umur 17 tahun yang wajib pilih. Menjadi menarik untuk mengamati bagaimana Lajumaili memilih sikap politiknya sendiri. Kebetulan dalam beberapa bulan itu masyarakat Kabupaten Buton tengah antusiasnya menanti hasil keputusan terakhir MK perihal hasil Pilkada Buton. Hasil yang oleh mereka yang berkepentingan dan terlibat, akan  begitu terasa menegangkan dan tentunya akan menentukan garis kehidupan mereka kedepannya. Seperti telah selayaknya hasil politik itu adalah tuhan yang mengatur takdir mereka. 

Sore itu dihari pertama Ramadhan tanggal 19 Juli 2012 saya bergegas kelapangan untuk turut serta mengambil bagian dalam latihan tanding dengan tim Junior Tangkalawa. Seperti biasa juga turut hadir Lajumaili dengan model kaos kaki tinggi dan celana Adidas yang sering dipakainya, juga senyum khasnya yang oleh saya pribadi menilai senyum tersebut seakan mampu menjatuhkan  72 bidadari dari sarangnya. Melihat daya pikat dan style yang digunakan Lajumaili dilapangan yang tanpa kumis, saya langsung mengkhayal dan membanding-bandingkan daya pikat Lajumaili dengan daya pikat 18 figur yang sempat saya lihat posenya dikertas suara ketika memenuhi hak memilih pada beberapa sebelumnya. Sembilan pasang gambar laki-laki yang siap dilubangi gambar wajahnya, yang siap bahkan mencari-cari supaya gambar wajahnya dilubangkan. Kok bisa ?Kenapa mau-maunya dilubangi gambarnya oleh ratusan ribu masyarakat diberbagai belahan bumi Buton. Apakah itu namanya berkorban demi rakyat ? Atau rela berkorban dilubangi gambarnya demi terpenuhi satu, dua, tiga dan banyak ambisi-ambisinya? Sempat terpikirkan, seandainya gambar Lajumaili yang  ada dalam kertas suara tersebut dengan kapasitas dan keluguannya seperti pada saat itu. Saya  merasai kalau itu sampai terjadi, dia (Lajumaili) akan dengan mudah menang satu putaran dalam Pilkada.

Beberapa menit memang saya sempat terpaku dengan style dari Lajumaili ini. Dari situlah saya berinisiatif untuk mendapatkan banyak argument secara langsung dari Lajumaili sambil berharap mendapatkan komentar yang memuaskan tentang  pandangannya perihal perpolitikan yang sedang mewabah di Gu Lakudo. Saya kemudian menyuruh  Ilman (salah seorang anggota DELTA) untuk mewakilkan apa yang diharapkan sebelumnya tadi, Ilman Langsung mengintograsi Lajumaili dengan tegas layaknya supir kepada kneknya:
“Jumaili !! ooo Jumaili….mai o menco o kededei nae ini pa a sebantaha..!! / Jumaili !! oh Jumaili… mari duduk dulu disini sebentar “ panggil Ilman kepada Lajumaili seperti berteriak di hutan.
“ Yo aeno Ilman salo oimoa??Noopongkeane bae cinalakua.. Nopasako dua a boosua…sao ae hampano?? / ada apa Ilman kenapa terus memanggil??bisa tuli telinganya kita kalau modelmu begitu… kayak boss saja modelmu begitu… ada perlu apa??” Lajumaili sedikit naik darahnya namun isi ususnya tidak ikut naik.
“nengke aemo kabarano Pilkada Buton inia?? No ende manumua kha?? / bagaimana kabarnya Pilkada Buton sekarang ?? ayammu (jagoanmu) naik atau tidak??” Ilman langsung keinti sambil menahan lemasnya paru-parunya di bulan ramadhan.
“maimo dopogoluana !! po urusu bae meda ndoicua…pa a mina bae pengaruno dua a pa a sao mie peda intoodi inia… / mari kita pergi main bola saja !! urusan dengan yang seperti itu… toh tidak juga ada pengaruhnya kepada orang yang seperti kita ini…” jawab spontan Lajumaili sambil langsung bergegas kelapangan layaknya Mario Balloteli ketika hendak melawan QPR di Liga Inggris.

Mengamati percakapan antara Lajumaili dan Ilman ini, saya langsung geleng-geleng kepala sebanyak tiga kali, bukan karena sakit leher, melainkan karena terheran-heran menyaksikan sikap Lajumaili itu. Bagi saya pribadi, sikap yang satu ini telah melenceng dari dugaan saya, sikap yang ditampilkan Lajumaili kepada Ilman bukanlah mewakili dari sikap mayoritas remaja di tanah Gu Lakudo melainkan sebagai sesuatu yang menjadi pembeda serta keunggulan dirinya atas  remaja-remaja yang lain. Bagaimana tidak, seorang Lajumaili yang lugu dan agak minim pengetahuannya, mampu menyadarkan dan mengingatkan saya pada kalimat yang sangat tinggi maknanya, yaitu, “Diam Itu Adalah Emas”. Dan itu langsung diamalkannya dalam kehidupan sehari-harinya. Padahal seandainya dia (Lajumaili) bermain dan terlibat dalam perpolitikkan khususnya politik praktis, tentunya tidak akan banyak berdampak buruk padanya dan nyata-nyata tak ada larangan baginya untuk itu.

Lajumaili bukanlah mereka yang terancam kehidupannya seandainya jagoannya kalah dalam pemilihan seperti terancamnya PNS seperti mutasi dan dampak buruk lainnya. Kalau seperti itu, telah seharusnyalah dia berpikir untuk bermain-main dalam politik kampung dengan cara yang sangat pragmatis, cukup datangi beberapa kediaman tim sukses, janjikan beberapa suara, adakan tawar-menawar, lalu ambil uangnya. Tetapi Lajumaili tidak, padahal ada banyak suara yang siap disantap ditempat perkumpulannya di gode-gode sebagai jaminan suara. 

Bandingkan dengan para PNS yang terlibat dalam politik praktis. Telah jelas-jelas adanya undang-undang yang melarang secara tertulis PNS ataupun aparatur negara manapun yang terlibat dalam politik apalagi politik praktis. Telah banyak baliho-baliho yang menuliskan perihal itu. Bukannya mau sok menjadi orang yang patuh pada hukum, minimal tidak, PNS adalah mereka yang status sosialnya diperhitungkan dan cenderung disegani dalam masyarakat. PNS saja telah melanggar aturan itu, bagaimana masyarakat yang akan mencontoh? Apabila larangan itu dipatuhi oleh mayoritas PNS dan mereka mengikuti sikap Lajumaili yang lebih memilih diam, saling menjatuhkan antar PNS hingga sikap permusuhan, bisa saja menurun sedikit tensinya. Sesuatu yang terencana atau bukan, setiap PNS di Gu Lakudo seolah diwajibkan mengambil sikap untuk keikutsertaannya dalam dunia politik. Diam yang notebenenya adalah sikap mengamankan diri, taat aturan, atau mungkin tidak pandai berpolitik, justru dianggap sabagai sikap menyatakan diri bersebarangan. Meskipun sangat tidak aman untuk diterapkan di Gu Lakudo,  alangkah indahnya jika PNS bersikap diam seperti isyarat yang disampaikan Lajumaili kepada Ilman di Lapangan Tangkalawa. Selain mematuhi aturan, juga untuk menghidarkan sikap saling menjatuhkan, disharmonisasi, dan banyak mamfaat lainnya. Bukankah aturan dibuat sebagai alat untuk menuju kearah yang lebih baik. Itulah kita (PNS) disuruh diam, tentunya demi kebaikan bersama.

Bagi saya sendiri, apa yang ditampilkan oleh mayoritas PNS-PNS di Gu Lakudo, akan sangat mengkhawatirkan pada perkembangan Lajumaili dan kawan-kawan lainnya dalam mengambil contoh hingga panutan untuk kehidupannya mendatang. Sebagaimana yang pernah diucapkan Laaipo di markas DELTA, “daomangkafi kahame pa a… na amai kangkafino kamokula mohame ano, anoa icumo sao kaangkafikua.. / kita ikut rame saja… mana yang diikuti kebanyakan orang-orang tua , itulah yang akan saya ikuti”.

Tidak lama berpikir tentang itu, saya langsung kembali mengamati Lajumaili di lapangan yang sesekali menipu Ilman dengan kocekannya ala Neymar seolah menunjukan bahwa Ilman levelnya masih dibawah.
Ilman pun naik darahnya sambil berkata:
“Laahunia sagoremoa …mahingga sabangka a bela tano gore-gorea / ini orang kerjanya mengocek… satu tim sendiri masih sempat-sempatnya juga ikut dikocek”.


Namun dibalik kasusnya dengan Ilman itu, Lajumaili seolah mengisyaratkan kepada kita bahwa politik itu tidak selamanya busuk, hanya karena mereka yang memainkannyalah yang menjadikan politik itu busuk. Biarlah politik kita serahkan dan percayakan kepada beberapa orang diantara kita yang memiliki kemampuan atasnya. Daripada sibuk dengan perebutan kepentingan, lebih baik kita berkreasi seperti bermain bola, lalu berprestasi sambil mengocek kiri kanan, kalau perlu mengocek Ilman di tengah lapangan. Atau bagi orang Gu Lakudo, agar berprestasi dalam Perniagaan atau Perdagangan hingga bertambah Jempollah bagi masyarakat Gu Lakudo oleh orang luaran sana. Menjadi PNS yang patuh pada hukum ketimbang berkreasi mencari jabatan dengan politik praktis. Atau duduk bersilah saja sambil bernyanyi dan  berkhayal tentang tower pemancar yang ada diujung kampung, yang meskipun tinggi tapi tak seindah senyum manis gadis yang disamping tinggi towernya (Gadis yang Kuliah di Akbid Pelita Ibu Kendari).
Tower di Ujung Kampung Gu Lakudo : "Lebih Baik Berkhayal Tentang Tower di Ujung kampung." Lajumaili.





DUNIA PERCINTAAN LAJUMAILI


Masih pada tanggal yang sama tepatnya sabtu, 21 Juli 2012 usai melepas lelah setelah sore sebelumnya mengamati bagaimana Lajumaili bersikap pada politik. Malam itu, adalah malam kedua pelaksanakan shalat sunnah terawih. Masih banyak memang dari karakter hingga sifat Lajumaili yang menjadi tanda tanya bagi saya dan mungkin juga bagi banyak orang. Telah banyak contoh teladan yang bisa kita ambil hikmahnya dari Lajumaili, ini terlepas dari beberapa kebiasaan-kebiasaan buruknya. Salahsatu pertanyaan yang sempat terlintas ketika itu sebelum berkumandangnya adzan Isya pada diri saya kepada Lajumaili adalah bagaimana seorang Lajumaili dalam keseharinnya ketika diperhadapkan pada romantisme atau  percintaan??. Ada banyak orang yang berspekulasi mengenai pertanyaan ini. Sebagai pengantar, sekitar tahun 2009 lalu ketika Lajumaili masih panas-panasnya memperjuangkan DELTA, dia sempat menemani saya bernyanyi terkait lagu-lagu yang berhubungan dengan masalah percintaan. Ini adalah salah satu lagu yang tanpa hak cipta yang dengan peresapan tingkat tinggi Lajumaili mencoba mendengarkan hingga menghayatinya:


Bila Kurindu Kubernyanyi


“Lihat bintang terindah dilangit
Kupilih diantara berjuta bintang
Kulihat beribu wanita didunia
Tak ada satu yang indah dari dirinya…
Tak dapatkah kumemeluk dirinya

Hanya mampu menatap
Untuk sekejap dimata . . .
Kupendam harapan
Yang tak bisa kuungkap
Bila kurindu kubernyanyi
Hanya untuknya . . .

Reff:

Andai kubisa
Kuraih semua impianku
Didalam hatinya
Relakah
Dia kunanti
Sampai dia kembali
Hingga nanti kupastikan
Dia didalam pelukku . . .

Waktu berjalan
Dan terus berjalan
Teruslah berputar
Andai dia berhenti”…


Lagu ini ketika itu dikumandangkan di dekat jalan propinsi depan SDN 3 GU. Ketika itu, Lajumaili mendengarkan lagu ini masih sementara berumur 15 tahun, umur yang masih sangat membingungkan untuk memaknai seutuhnya perihal percintaan. Setahu saya, ketika mendengarkan lagu ini, Lajumaili dikabar-kabarkan oleh khalayak ramai tengah dalam keadaan “Jomblo” istilah anak muda yang berarti “belum punya pacar” untuk belajar menggombal. Namun itu dulu, tiga tahun sebelum Juli 2012.

Adzan isya pun berkumandang. Lekaslah saya bergegas menuju masjid untuk melaksanakan shalat isya secara berjamaah. Memasuki teras masjid, saya sangat dibuat kaget bukan kepalang. Ketika Pak Imam membaca “Waladdalliiiinnn” sontak ratusan jamaah yang memenuhi masjid dari barisan belakang imam sampai jamaah yang ada ditempat wudhu termasuk Laoke, melanjutkan bacaan tadi sambil bersama-sama membaca “Aaaaaaammiiiiiiiiin”. Bukan masalah kekompakkan dan kefasihan dari Jamaahnyalah yang membuat saya kaget, melainkan perbedaan antara jumlah Jamaah yang kemarin malamnya dengan jumlah jamaah ketika itu yang sangat spesifik sekali. Kalau biasanya shaf laki-laki hanya 2-3 baris, ketika itu pada saat kedatangan saya shaf, laki-laki meluber keluar hingga ke teras masjid. Dari situlah mereka yang terlambat datang semisal saya harus rela melangsungkan sholat berjamaah di teras yang hanya dua meter jaraknyandari shaf perempuan, utamanya perempuan yang remaja-remaja.
Barisan Shaf Jamaah Laki-Laki Sebelum Bulan Ramadhan

Menarik dan menjanjikan memang pemandangan yang seperti ini. Apabila diamati secara sepintas, nampak jamaah masjid yang kebanyakan diramaikan secara mendadak oleh remaja-remaja laki-laki dan perempuan yang sangat fenomena pada saat itu, seolah memberikan pengharapan dan menjanjikan kepada kita, bahwa telah banyak remaja yang sadar dan bertobat kembali ke jalan yang benar, telah tersirami jiwanya oleh suasana sahur yang berlangsung subuh sebelumnya. Dan diharapkan pula dari membludaknya jamaah remaja ini, akan terjadi perubahan pada pola pikir remaja dari yang tadinya masih berpaham hura-hura atau hedonisme, menjadi remaja yang taat beragama dan beretika sepert dalam film “Dalam Mihrab Cinta” atau “Ayat-Ayat Cinta”. Tentupun dari kita akan sangat gembira hatinya kalau dugaan saya yang mencurigakan ini benar dan terjadi adanya.

Selesai sholat isya, saya memutuskan untuk keluar cari angin sebentar ke luar masjid bersama-sama dengan Didi (anggota DELTA) dan mengabaikan sejenak pembacaan ayat-ayat suci Al-Quran yang dilanjutkan dengan Dakwah Islamiyah dalam masjid. Saya pun menyempatkan diri mencari Lajumaili di tempat nongkrongnya disamping masjid (gode-dode depan rumah Naani). Sambil mencari Lajumaili tersebut, satu kejadian yang cukup mengagetkan hati, karena ternyata bukan hanya saya dan Didi saja yang keluar cari angin. Ternyata remaja-remaja sekitar 67% dari jamaah masjid saat itu, keluar dan ikut bergentayangan di jalan-jalan dan dilorong-lorong sempit diseputaran Masjid Agung Nurul Huda GU Lakudo. Ketika itu saya berpikir bahwa pemandangan itu adalah pemandangan yang wajar disemua tempat di nusantara dan coba sedikit demi sedikit untuk mengabaikannya.  Kebetulan di tempat nongkrongnya Lajumaili sedang tidak ada dan hanya ada Laoke serta kawan-kawannya disitu. Langsung saja kami bertanya kepada Laoke.

“ na amainoa Lajumailia?? Mina toha nee ndaka-ndaka nae inia kha?? / ada dimana Lajumaili??  Dia tidak baring-baring disini kah ?? Didi kepada Laoke dengan suara agak dimirip-miripkan dengan Ariel.
“nokala toha nee lao-lao bae sabangkano wa a…dae ondivi waka ambadoa…/ dia pergi jalan dengan temannya barusan… mau cari cewek katanya…” jawab Laoke dengan sedikit meninggikah bahunya.
“ na amai nee ondovi waka a yahuu?? Ko bilanga a noanga toha nomarunggasa a Lajumaili maa… / dimana dia mencari cewe?? Kayaknya mulai liar itu Lajumaili” Didi kembali bertanya.

“taa ondomoicua pa a..ane soano see kaloro-loro icua berarti see dambata koo dermaga cinta icua…/ cari saja…kalau bukan di lorong-lorong sempit berarti dia ada di jembatan atau selain itu di Dermaga Cinta…” Laoke sambil tersipu lugu.

“ tarima kasimoicua hangkala…. / terimakasih saja kalau begitu” jawab Didi sambil menghisap rokok Class Mild ditangan kanannya sambil ditelan asapnya.

Bermodalkan informasi dari Laoke ini, kami kemudian mencari Lajumaili hampir disetiap lorong diseputaran Masjid Agung. Namun hasilnya tetap nihil, karena setiap lorong yang kami masuki ternyata telah dikapling dan dibooking oleh pasangan-pasangan remaja yang beradu gombal, baik itu lorong yang dekat sumur, dekat markas Mabes, sampai yang dekat kandang ayam dan bebek telah penuh kuotanya oleh pasangan-pasangan remaja-remaja yang telah berjanjian sebelumnya. Ada yang menembak, ada yang PDKT, ada yang Curhat, ada yang naik marahnya, ada yang mengayomi dan ada-ada yang lain sebagainya. Sehingga menjadi relevanlah sebuah pernyataan puitis dari Laolona, “ Cinta itu bisa mengubah bau dan hawa kandang bebek atau ayam, bagai hawa taman mawar di Surga kedelapan”.

Jalan Sekitaran Masjid Agung Sekaligus Jalan Pembuka Menuju Jembatan
Mengetahui kemungkinan Lajumaili ada dilorong sangat kecil, kamipun berinisiatif mencari Lajumaili di Jembatan dekat masjid. Sesampainya di Jembatan, pemandangannya masih tetap sama, yaitu, rombongan dan individu laki-laki maupun perempuan yang menggunakan mokenah berlalu-lalang dan berdiam diri ataupun bergombal-gombalan yang dilaksanakan mulai dari papan perbatasan Kelurahan Lakudo dan Wanepa-nepa sampai ujung jembatan yang sudah diisi oleh motor kuda hitam Lahery. Dalam keramaian tersebut, sangatlah sulit memang untuk mencari dan menemukan Lajumaili, apalagi mencarinya dalam kegelapan malam yang dipertegas dengan posisi bulan yang masih berkisar dua derajat seperti kata salahsatu berita di Metro TV. Menyadari sangat susahnya untuk mencari Lajumaili ditempat itu, kemudian ditambah lagi protokoler masjid atas nama Muhamad Yusuf telah mengumumkan hasil edaran celengan, maka saya dan Didi memutuskan untuk menunda proses pencarian orang yang hampir hilang itu hingga satu bulan kedepan saat mendekati Lebaran (dikarenakan keesokan harinya saya dan protokoler di masjid yang mengumumkan hasil edaran celengan itu akan kembali menuju Kota Kendari).

Dari situ, saya mengambil kesimpulan bahwa ternyata generasi mudah yang diharapkan akan menjadi pemegang tongkat estafet dimasa mendatang, mulai memberikan rasa pesimis jikalau dibiarkan berlangsung terus seperti itu. Shalat sunnat terawih yang seyogyanya hanya ada dalam bulan suci Ramadhan dan sangat dianjurkan dilaksanakan secara berjamaah di masjid, malah disia-siakan dan lebih memilih untuk melaksanakan shalat sunnat terawih di jembatan ataupun di lorong-lorong kecil berdekatan dengan kandang ayam dan bebek. Lantas bagaimana dengan seorang Lajumaili yang tidak ditemukan dimalam itu??apakah dia tergolong kedalam orang yang saya maksudkan tadi??

 Beberapa menit usai melaksanakan shalat sunnah terawih, saya mendengar kabar bahwa Lajumaili ketika dicari itu, tengah berada di belakang masjid sambil bergosip mengenai masalah bola bersama Laputeh dan kawan-kawannya sebelum akhirnya saatnya shalat terawih diapun juga ikut melaksanakannya secara berjamaah.

Lajumaili bukannya buta pada dunia percintaan. Dia hanya memegang prinsip yang dulu pernah diikrarkannya sewaktu eksis di DELTA. Dia punya cara sendiri yang lebih sopan dan santun kepada seorang wanita serta memberi penghargaan yang tinggi kepada mereka dalam urusan romantismenya. Banyak kawan-kawannya yang mencari tahu soal ini. Meskipun pada kenyataannya,  hampir seluruh sikap seorang Lajumaili dalam dunia percintaan banyak dipengaruhi oleh sebuah lagu yang dulunya ketika berusia 15 tahun pernah menemaninya di pinggir aspal yang mungkin telah dilupakannya sekarang. Ketika itu, dia sangat mengkhayati betul isi dan makna dari lagu tanpa hak cipta tersebut. Didengarnya lagu itu hingga mengamalkannya. Suatu sikap memandang seorang perempuan dengan segala keterbatasan. Mengagumi dan mengharapkannya layaknya mutiara yang dijanjikan, sampai dia (Lajumaili) rela menunggu seiring berjalannya waktu seperti pada reffnya” andai kubisa kuraih semua impianku didalam hatinya relakah dia kunanti sampai dia kembali hingga kupastikan dia didalam pelukku waktu berjalan dan terus berjalan teruslah berputar andai dia berhenti”.

Saya membandingkan gaya romantisme Lajumaili dengan remaja-remaja yang lainnya. Andai mayoritas remaja-remaja terkhusus laki-laki dari Gu Lakudo mencontoh cara Lajumaili meninggikan wanita, mungkin akan sedikit baik cara pergaulan mereka sekarang ini. Ketimbang meninggikan gombal diatas shalat  sunnah terawih, Lajumaili lebih memilih menanti shalat sunnah terawih dengan menghindari pertemuan terlarang ditempat terlarang yang kadang tidak masuk dalam kajian logika mamfaatnya. Lajumaili lebih memilih cara untuk lebih baik berprestasi dan menata diri hingga bermamfaat bagi yang lain sampai nanti calon bidadarinyalah yang mendekat ketimbang merusak calon-calon bidadari yang masih lugu adanya dengan dalih “masa muda masa yang berapi-api”.



BERSAMBUNG . . .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar