BAGIAN II
LAJUMAILI
MENYIKAPI POLITIK DI GU LAKUDO
Tidak banyak memang perbedaan
Lajumaili dengan kawan-kawannya yang lain dalam menyikapi tentang perpolitikkan
di tanah Gu Lakudo. Mengingat Lajumaili adalah satu figur yang boleh dikatakan
telah mewakili jiwa dan tingkah remaja Gu Lakudo secara menyeluruh yang telah
mencapai umur 17 tahun yang wajib pilih. Menjadi menarik untuk mengamati
bagaimana Lajumaili memilih sikap politiknya sendiri. Kebetulan dalam beberapa
bulan itu masyarakat Kabupaten Buton tengah antusiasnya menanti hasil keputusan
terakhir MK perihal hasil Pilkada Buton. Hasil yang oleh mereka yang
berkepentingan dan terlibat, akan begitu
terasa menegangkan dan tentunya akan menentukan garis kehidupan mereka kedepannya.
Seperti telah selayaknya hasil politik itu adalah tuhan yang mengatur takdir
mereka.
Sore itu dihari pertama Ramadhan tanggal
19 Juli 2012 saya bergegas kelapangan untuk turut serta mengambil bagian dalam
latihan tanding dengan tim Junior Tangkalawa. Seperti biasa juga turut hadir
Lajumaili dengan model kaos kaki tinggi dan celana Adidas yang sering
dipakainya, juga senyum khasnya yang oleh saya pribadi menilai senyum tersebut seakan
mampu menjatuhkan 72 bidadari dari
sarangnya. Melihat daya pikat dan style yang digunakan Lajumaili dilapangan
yang tanpa kumis, saya langsung mengkhayal dan membanding-bandingkan daya pikat
Lajumaili dengan daya pikat 18 figur yang sempat saya lihat posenya dikertas
suara ketika memenuhi hak memilih pada beberapa sebelumnya. Sembilan pasang
gambar laki-laki yang siap dilubangi gambar wajahnya, yang siap bahkan
mencari-cari supaya gambar wajahnya dilubangkan. Kok bisa ?Kenapa mau-maunya
dilubangi gambarnya oleh ratusan ribu masyarakat diberbagai belahan bumi Buton.
Apakah itu namanya berkorban demi rakyat ? Atau rela berkorban dilubangi gambarnya
demi terpenuhi satu, dua, tiga dan banyak ambisi-ambisinya? Sempat terpikirkan,
seandainya gambar Lajumaili yang ada
dalam kertas suara tersebut dengan kapasitas dan keluguannya seperti pada saat
itu. Saya merasai kalau itu sampai
terjadi, dia (Lajumaili) akan dengan mudah menang satu putaran dalam Pilkada.
Beberapa menit memang saya sempat terpaku
dengan style dari Lajumaili ini. Dari situlah saya berinisiatif untuk mendapatkan
banyak argument secara langsung dari Lajumaili sambil berharap mendapatkan
komentar yang memuaskan tentang pandangannya perihal perpolitikan yang sedang mewabah
di Gu Lakudo. Saya kemudian menyuruh Ilman
(salah seorang anggota DELTA) untuk mewakilkan apa yang diharapkan sebelumnya
tadi, Ilman Langsung mengintograsi Lajumaili dengan tegas layaknya supir kepada
kneknya:
“Jumaili !! ooo Jumaili….mai o menco o kededei nae ini pa a
sebantaha..!! / Jumaili !! oh Jumaili… mari duduk dulu disini sebentar “
panggil Ilman kepada Lajumaili seperti berteriak di hutan.
“ Yo aeno Ilman salo oimoa??Noopongkeane bae cinalakua..
Nopasako dua a boosua…sao ae hampano?? / ada apa Ilman kenapa terus memanggil??bisa
tuli telinganya kita kalau modelmu begitu… kayak boss saja modelmu begitu… ada
perlu apa??” Lajumaili sedikit naik darahnya namun isi ususnya tidak ikut naik.
“nengke aemo kabarano Pilkada Buton inia?? No ende manumua
kha?? / bagaimana kabarnya Pilkada Buton sekarang ?? ayammu (jagoanmu) naik
atau tidak??” Ilman langsung keinti sambil menahan lemasnya paru-parunya di
bulan ramadhan.
“maimo dopogoluana !! po urusu bae meda ndoicua…pa a mina bae
pengaruno dua a pa a sao mie peda intoodi inia… / mari kita pergi main bola
saja !! urusan dengan yang seperti itu… toh tidak juga ada pengaruhnya kepada
orang yang seperti kita ini…” jawab spontan Lajumaili sambil langsung bergegas
kelapangan layaknya Mario Balloteli ketika hendak melawan QPR di Liga Inggris.
Mengamati percakapan antara
Lajumaili dan Ilman ini, saya langsung geleng-geleng kepala sebanyak tiga kali,
bukan karena sakit leher, melainkan karena terheran-heran menyaksikan sikap
Lajumaili itu. Bagi saya pribadi, sikap yang satu ini telah melenceng dari
dugaan saya, sikap yang ditampilkan Lajumaili kepada Ilman bukanlah mewakili
dari sikap mayoritas remaja di tanah Gu Lakudo melainkan sebagai sesuatu yang
menjadi pembeda serta keunggulan dirinya atas remaja-remaja yang lain. Bagaimana tidak, seorang
Lajumaili yang lugu dan agak minim pengetahuannya, mampu menyadarkan dan
mengingatkan saya pada kalimat yang sangat tinggi maknanya, yaitu, “Diam Itu
Adalah Emas”. Dan itu langsung diamalkannya dalam kehidupan sehari-harinya.
Padahal seandainya dia (Lajumaili) bermain dan terlibat dalam perpolitikkan
khususnya politik praktis, tentunya tidak akan banyak berdampak buruk padanya
dan nyata-nyata tak ada larangan baginya untuk itu.
Lajumaili bukanlah mereka yang
terancam kehidupannya seandainya jagoannya kalah dalam pemilihan seperti
terancamnya PNS seperti mutasi dan dampak buruk lainnya. Kalau seperti itu,
telah seharusnyalah dia berpikir untuk bermain-main dalam politik kampung
dengan cara yang sangat pragmatis, cukup datangi beberapa kediaman tim sukses,
janjikan beberapa suara, adakan tawar-menawar, lalu ambil uangnya. Tetapi
Lajumaili tidak, padahal ada banyak suara yang siap disantap ditempat
perkumpulannya di gode-gode sebagai jaminan suara.
Bandingkan dengan para PNS yang
terlibat dalam politik praktis. Telah jelas-jelas adanya undang-undang yang
melarang secara tertulis PNS ataupun aparatur negara manapun yang terlibat dalam
politik apalagi politik praktis. Telah banyak baliho-baliho yang menuliskan
perihal itu. Bukannya mau sok menjadi orang yang patuh pada hukum, minimal
tidak, PNS adalah mereka yang status sosialnya diperhitungkan dan cenderung
disegani dalam masyarakat. PNS saja telah melanggar aturan itu, bagaimana
masyarakat yang akan mencontoh? Apabila larangan itu dipatuhi oleh mayoritas
PNS dan mereka mengikuti sikap Lajumaili yang lebih memilih diam, saling menjatuhkan
antar PNS hingga sikap permusuhan, bisa saja menurun sedikit tensinya. Sesuatu
yang terencana atau bukan, setiap PNS di Gu Lakudo seolah diwajibkan mengambil
sikap untuk keikutsertaannya dalam dunia politik. Diam yang notebenenya adalah
sikap mengamankan diri, taat aturan, atau mungkin tidak pandai berpolitik,
justru dianggap sabagai sikap menyatakan diri bersebarangan. Meskipun sangat
tidak aman untuk diterapkan di Gu Lakudo,
alangkah indahnya jika PNS bersikap diam seperti isyarat yang
disampaikan Lajumaili kepada Ilman di Lapangan Tangkalawa. Selain mematuhi
aturan, juga untuk menghidarkan sikap saling menjatuhkan, disharmonisasi, dan
banyak mamfaat lainnya. Bukankah aturan dibuat sebagai alat untuk menuju kearah
yang lebih baik. Itulah kita (PNS) disuruh diam, tentunya demi kebaikan bersama.
Bagi saya sendiri, apa yang
ditampilkan oleh mayoritas PNS-PNS di Gu Lakudo, akan sangat mengkhawatirkan
pada perkembangan Lajumaili dan kawan-kawan lainnya dalam mengambil contoh
hingga panutan untuk kehidupannya mendatang. Sebagaimana yang pernah diucapkan
Laaipo di markas DELTA, “daomangkafi kahame pa a… na amai kangkafino kamokula
mohame ano, anoa icumo sao kaangkafikua.. / kita ikut rame saja… mana yang
diikuti kebanyakan orang-orang tua , itulah yang akan saya ikuti”.
Tidak lama berpikir tentang itu,
saya langsung kembali mengamati Lajumaili di lapangan yang sesekali menipu
Ilman dengan kocekannya ala Neymar seolah menunjukan bahwa Ilman levelnya masih
dibawah.
Ilman pun naik darahnya sambil berkata:
“Laahunia sagoremoa …mahingga sabangka a bela tano gore-gorea
/ ini orang kerjanya mengocek… satu tim sendiri masih sempat-sempatnya juga
ikut dikocek”.
Namun dibalik kasusnya dengan
Ilman itu, Lajumaili seolah mengisyaratkan kepada kita bahwa politik itu tidak
selamanya busuk, hanya karena mereka yang memainkannyalah yang menjadikan
politik itu busuk. Biarlah politik kita serahkan dan percayakan kepada beberapa
orang diantara kita yang memiliki kemampuan atasnya. Daripada sibuk dengan perebutan
kepentingan, lebih baik kita berkreasi seperti bermain bola, lalu berprestasi sambil
mengocek kiri kanan, kalau perlu mengocek Ilman di tengah lapangan. Atau bagi
orang Gu Lakudo, agar berprestasi dalam Perniagaan atau Perdagangan hingga
bertambah Jempollah bagi masyarakat Gu Lakudo oleh orang luaran sana. Menjadi
PNS yang patuh pada hukum ketimbang berkreasi mencari jabatan dengan politik
praktis. Atau duduk bersilah saja sambil bernyanyi dan berkhayal tentang tower pemancar yang ada
diujung kampung, yang meskipun tinggi tapi tak seindah senyum manis gadis yang
disamping tinggi towernya (Gadis yang Kuliah di Akbid Pelita Ibu Kendari).
![]() |
| Tower di Ujung Kampung Gu Lakudo : "Lebih Baik Berkhayal Tentang Tower di Ujung kampung." Lajumaili. |
DUNIA
PERCINTAAN LAJUMAILI
Masih pada tanggal yang sama
tepatnya sabtu, 21 Juli 2012 usai melepas lelah setelah sore sebelumnya
mengamati bagaimana Lajumaili bersikap pada politik. Malam itu, adalah malam
kedua pelaksanakan shalat sunnah terawih. Masih banyak memang dari karakter
hingga sifat Lajumaili yang menjadi tanda tanya bagi saya dan mungkin juga bagi
banyak orang. Telah banyak contoh teladan yang bisa kita ambil hikmahnya dari
Lajumaili, ini terlepas dari beberapa kebiasaan-kebiasaan buruknya. Salahsatu
pertanyaan yang sempat terlintas ketika itu sebelum berkumandangnya adzan Isya pada
diri saya kepada Lajumaili adalah bagaimana seorang Lajumaili dalam
keseharinnya ketika diperhadapkan pada romantisme atau percintaan??. Ada banyak orang yang berspekulasi
mengenai pertanyaan ini. Sebagai pengantar, sekitar tahun 2009 lalu ketika
Lajumaili masih panas-panasnya memperjuangkan DELTA, dia sempat menemani saya
bernyanyi terkait lagu-lagu yang berhubungan dengan masalah percintaan. Ini
adalah salah satu lagu yang tanpa hak cipta yang dengan peresapan tingkat
tinggi Lajumaili mencoba mendengarkan hingga menghayatinya:
Bila Kurindu Kubernyanyi
“Lihat bintang terindah dilangit
Kupilih diantara berjuta bintang
Kulihat beribu wanita didunia
Tak ada satu yang indah dari dirinya…
Tak dapatkah kumemeluk dirinya
Hanya mampu menatap
Untuk sekejap dimata . . .
Kupendam harapan
Yang tak bisa kuungkap
Bila kurindu kubernyanyi
Hanya untuknya . . .
Reff:
Andai kubisa
Kuraih semua impianku
Didalam hatinya
Relakah
Dia kunanti
Sampai dia kembali
Hingga nanti kupastikan
Dia didalam pelukku . . .
Waktu berjalan
Dan terus berjalan
Teruslah berputar
Andai dia berhenti”…
Lagu ini ketika itu dikumandangkan
di dekat jalan propinsi depan SDN 3 GU. Ketika itu, Lajumaili mendengarkan lagu
ini masih sementara berumur 15 tahun, umur yang masih sangat membingungkan
untuk memaknai seutuhnya perihal percintaan. Setahu saya, ketika mendengarkan
lagu ini, Lajumaili dikabar-kabarkan oleh khalayak ramai tengah dalam keadaan
“Jomblo” istilah anak muda yang berarti “belum punya pacar” untuk belajar
menggombal. Namun itu dulu, tiga tahun sebelum Juli 2012.
Adzan isya pun berkumandang.
Lekaslah saya bergegas menuju masjid untuk melaksanakan shalat isya secara
berjamaah. Memasuki teras masjid, saya sangat dibuat kaget bukan kepalang.
Ketika Pak Imam membaca “Waladdalliiiinnn” sontak ratusan jamaah yang memenuhi
masjid dari barisan belakang imam sampai jamaah yang ada ditempat wudhu termasuk
Laoke, melanjutkan bacaan tadi sambil bersama-sama membaca “Aaaaaaammiiiiiiiiin”. Bukan
masalah kekompakkan dan kefasihan dari Jamaahnyalah yang membuat saya kaget,
melainkan perbedaan antara jumlah Jamaah yang kemarin malamnya dengan jumlah
jamaah ketika itu yang sangat spesifik sekali. Kalau biasanya shaf laki-laki
hanya 2-3 baris, ketika itu pada saat kedatangan saya shaf, laki-laki meluber
keluar hingga ke teras masjid. Dari situlah mereka yang terlambat datang
semisal saya harus rela melangsungkan sholat berjamaah di teras yang hanya dua
meter jaraknyandari shaf perempuan, utamanya perempuan yang remaja-remaja.
![]() |
| Barisan Shaf Jamaah Laki-Laki Sebelum Bulan Ramadhan |
Menarik dan menjanjikan memang
pemandangan yang seperti ini. Apabila diamati secara sepintas, nampak jamaah
masjid yang kebanyakan diramaikan secara mendadak oleh remaja-remaja laki-laki
dan perempuan yang sangat fenomena pada saat itu, seolah memberikan pengharapan
dan menjanjikan kepada kita, bahwa telah banyak remaja yang sadar dan bertobat
kembali ke jalan yang benar, telah tersirami jiwanya oleh suasana sahur yang
berlangsung subuh sebelumnya. Dan diharapkan pula dari membludaknya jamaah
remaja ini, akan terjadi perubahan pada pola pikir remaja dari yang tadinya
masih berpaham hura-hura atau hedonisme, menjadi remaja yang taat beragama dan
beretika sepert dalam film “Dalam Mihrab Cinta” atau “Ayat-Ayat Cinta”. Tentupun
dari kita akan sangat gembira hatinya kalau dugaan saya yang mencurigakan ini
benar dan terjadi adanya.
Selesai sholat isya, saya
memutuskan untuk keluar cari angin sebentar ke luar masjid bersama-sama dengan
Didi (anggota DELTA) dan mengabaikan sejenak pembacaan ayat-ayat suci Al-Quran
yang dilanjutkan dengan Dakwah Islamiyah dalam masjid. Saya pun menyempatkan
diri mencari Lajumaili di tempat nongkrongnya disamping masjid (gode-dode depan
rumah Naani). Sambil mencari Lajumaili tersebut, satu kejadian yang cukup
mengagetkan hati, karena ternyata bukan hanya saya dan Didi saja yang keluar
cari angin. Ternyata remaja-remaja sekitar 67% dari jamaah masjid saat itu,
keluar dan ikut bergentayangan di jalan-jalan dan dilorong-lorong sempit
diseputaran Masjid Agung Nurul Huda GU Lakudo. Ketika itu saya berpikir bahwa
pemandangan itu adalah pemandangan yang wajar disemua tempat di nusantara dan
coba sedikit demi sedikit untuk mengabaikannya.
Kebetulan di tempat nongkrongnya Lajumaili sedang tidak ada dan hanya ada
Laoke serta kawan-kawannya disitu. Langsung saja kami bertanya kepada Laoke.
“ na amainoa Lajumailia?? Mina toha nee ndaka-ndaka nae inia kha??
/ ada dimana Lajumaili?? Dia tidak
baring-baring disini kah ?? Didi kepada Laoke dengan suara agak dimirip-miripkan
dengan Ariel.
“nokala toha nee lao-lao bae sabangkano wa a…dae ondivi waka
ambadoa…/ dia pergi jalan dengan temannya barusan… mau cari cewek katanya…”
jawab Laoke dengan sedikit meninggikah bahunya.
“ na amai nee ondovi waka a yahuu?? Ko bilanga a noanga toha
nomarunggasa a Lajumaili maa… / dimana dia mencari cewe?? Kayaknya mulai liar
itu Lajumaili” Didi kembali bertanya.
“taa ondomoicua pa a..ane soano see kaloro-loro icua berarti see dambata koo dermaga cinta icua…/ cari saja…kalau bukan di lorong-lorong sempit berarti dia ada di jembatan atau selain itu di Dermaga Cinta…” Laoke sambil tersipu lugu.
“taa ondomoicua pa a..ane soano see kaloro-loro icua berarti see dambata koo dermaga cinta icua…/ cari saja…kalau bukan di lorong-lorong sempit berarti dia ada di jembatan atau selain itu di Dermaga Cinta…” Laoke sambil tersipu lugu.
“ tarima kasimoicua hangkala…. / terimakasih saja kalau
begitu” jawab Didi sambil menghisap rokok Class Mild ditangan kanannya sambil
ditelan asapnya.
Bermodalkan informasi dari Laoke
ini, kami kemudian mencari Lajumaili hampir disetiap lorong diseputaran Masjid
Agung. Namun hasilnya tetap nihil, karena setiap lorong yang kami masuki
ternyata telah dikapling dan dibooking oleh pasangan-pasangan remaja yang
beradu gombal, baik itu lorong yang dekat sumur, dekat markas Mabes, sampai yang
dekat kandang ayam dan bebek telah penuh kuotanya oleh pasangan-pasangan
remaja-remaja yang telah berjanjian sebelumnya. Ada yang menembak, ada yang
PDKT, ada yang Curhat, ada yang naik marahnya, ada yang mengayomi dan ada-ada
yang lain sebagainya. Sehingga menjadi relevanlah sebuah pernyataan puitis dari
Laolona, “ Cinta itu bisa mengubah bau dan hawa kandang bebek atau ayam, bagai
hawa taman mawar di Surga kedelapan”.
![]() |
| Jalan Sekitaran Masjid Agung Sekaligus Jalan Pembuka Menuju Jembatan |
Mengetahui kemungkinan Lajumaili
ada dilorong sangat kecil, kamipun berinisiatif mencari Lajumaili di Jembatan
dekat masjid. Sesampainya di Jembatan, pemandangannya masih tetap sama, yaitu,
rombongan dan individu laki-laki maupun perempuan yang menggunakan mokenah berlalu-lalang
dan berdiam diri ataupun bergombal-gombalan yang dilaksanakan mulai dari papan
perbatasan Kelurahan Lakudo dan Wanepa-nepa sampai ujung jembatan yang sudah
diisi oleh motor kuda hitam Lahery. Dalam keramaian tersebut, sangatlah sulit
memang untuk mencari dan menemukan Lajumaili, apalagi mencarinya dalam
kegelapan malam yang dipertegas dengan posisi bulan yang masih berkisar dua
derajat seperti kata salahsatu berita di Metro TV. Menyadari sangat susahnya
untuk mencari Lajumaili ditempat itu, kemudian ditambah lagi protokoler masjid
atas nama Muhamad Yusuf telah mengumumkan hasil edaran celengan, maka saya dan
Didi memutuskan untuk menunda proses pencarian orang yang hampir hilang itu hingga
satu bulan kedepan saat mendekati Lebaran (dikarenakan keesokan harinya saya
dan protokoler di masjid yang mengumumkan hasil edaran celengan itu akan
kembali menuju Kota Kendari).
Dari situ, saya mengambil
kesimpulan bahwa ternyata generasi mudah yang diharapkan akan menjadi pemegang
tongkat estafet dimasa mendatang, mulai memberikan rasa pesimis jikalau
dibiarkan berlangsung terus seperti itu. Shalat sunnat terawih yang seyogyanya
hanya ada dalam bulan suci Ramadhan dan sangat dianjurkan dilaksanakan secara
berjamaah di masjid, malah disia-siakan dan lebih memilih untuk melaksanakan
shalat sunnat terawih di jembatan ataupun di lorong-lorong kecil berdekatan
dengan kandang ayam dan bebek. Lantas bagaimana dengan seorang Lajumaili yang
tidak ditemukan dimalam itu??apakah dia tergolong kedalam orang yang saya
maksudkan tadi??
Beberapa menit usai melaksanakan shalat sunnah
terawih, saya mendengar kabar bahwa Lajumaili ketika dicari itu, tengah berada
di belakang masjid sambil bergosip mengenai masalah bola bersama Laputeh dan
kawan-kawannya sebelum akhirnya saatnya shalat terawih diapun juga ikut
melaksanakannya secara berjamaah.
Lajumaili bukannya buta pada
dunia percintaan. Dia hanya memegang prinsip yang dulu pernah diikrarkannya
sewaktu eksis di DELTA. Dia punya cara sendiri yang lebih sopan dan santun
kepada seorang wanita serta memberi penghargaan yang tinggi kepada mereka dalam
urusan romantismenya. Banyak kawan-kawannya yang mencari tahu soal ini.
Meskipun pada kenyataannya, hampir
seluruh sikap seorang Lajumaili dalam dunia percintaan banyak dipengaruhi oleh sebuah
lagu yang dulunya ketika berusia 15 tahun pernah menemaninya di pinggir aspal yang
mungkin telah dilupakannya sekarang. Ketika itu, dia sangat mengkhayati betul
isi dan makna dari lagu tanpa hak cipta tersebut. Didengarnya lagu itu hingga
mengamalkannya. Suatu sikap memandang seorang perempuan dengan segala
keterbatasan. Mengagumi dan mengharapkannya layaknya mutiara yang dijanjikan,
sampai dia (Lajumaili) rela menunggu seiring berjalannya waktu seperti pada
reffnya” andai kubisa kuraih semua impianku didalam hatinya relakah dia kunanti
sampai dia kembali hingga kupastikan dia didalam pelukku waktu berjalan dan
terus berjalan teruslah berputar andai dia berhenti”.
Saya membandingkan gaya
romantisme Lajumaili dengan remaja-remaja yang lainnya. Andai mayoritas
remaja-remaja terkhusus laki-laki dari Gu Lakudo mencontoh cara Lajumaili
meninggikan wanita, mungkin akan sedikit baik cara pergaulan mereka sekarang
ini. Ketimbang meninggikan gombal diatas shalat sunnah terawih, Lajumaili lebih memilih
menanti shalat sunnah terawih dengan menghindari pertemuan terlarang ditempat
terlarang yang kadang tidak masuk dalam kajian logika mamfaatnya. Lajumaili
lebih memilih cara untuk lebih baik berprestasi dan menata diri hingga
bermamfaat bagi yang lain sampai nanti calon bidadarinyalah yang mendekat ketimbang
merusak calon-calon bidadari yang masih lugu adanya dengan dalih “masa muda
masa yang berapi-api”.
BERSAMBUNG . . .



Tidak ada komentar:
Posting Komentar