GU LAKUDO

GU LAKUDO
Masjid Agung Nurul Huda Gu-Lakudo

Senin, 24 September 2012

LAJUMAILI SANG PUTRA GU LAKUDO #4





BAGIAN IV





LAJUMAILI DAN KELUHANNYA




Telah banyak sikap Lajumaili yang bisa diambil hikmahnya untuk kita contohi dalam tindakkan kita menjalani hari-hari dalam hidup. Beberapa kisah Lajumaili yang sempat dipublikasikan tentunya bukan dengan maksud meninggakan nama Lajumaili diantara banyaknya remaja yang berada dalam wilayah Gu Lakudo. Hanya kebetulan saja, sosok Lajumaili muncul dan menampakkan beberapa sikap dan tindakan yang menarik pandangan maupun hati. Lajumaili sendiri kuanggap telah mewakili secara menyeluruh karakter dari banyaknya remaja-remaja di Gu Lakudo yang sekarang tengah antusiasnya menanti gilirannya menjadi dewasa.

Sebagai seorang remaja yang masih labil jiwanya, yang masih tergoyahkan imannya, yang masih minim ilmunya tentang duniawi, yang masih memandang yang umum adalah yang benar dan harus diikuti,  Lajumaili telah menjadi seorang sosok yang telah banyak memberi saran dan kritik kepada siapapun yang mengenalnya lewat banyak sikapnya yang spontan dan tanpa maksud mengakali. Meskipun kita belum sempa tahu, apakah dia melakukan itu dalam keadaan sengaja atau tidak, atau dalam kapasitasnya sebagai seorang panutan atau bukan?

Saya telah banyak mendengar dan melihat langsung bagaimana kerasnya dan rutinnya remaja-remaja Gu Lakudo melakukan latihan sepakbola di Lapangan Tangkalawa khususnya Lajumaili. Kadang saya bertanya-tanya, untuk apa tiap hari pergi ketempat latihan kalau begitu minim even yang diikuti, kalau tak ada upah yang diberikan untuk itu, atau kalau tak ada masyarakat yang memperdulikannya. Membingungkan sekaligus memutarkan otak memang. Tapi biarlah, menurut saya, hitung-hitung juga olahraga demi kesehatan atau mungkin sekedar memenuhi dahaga hoby. Mungkin juga untuk menyeimbangkan kesehatan, menangkal rokok dengan olahraga. Yang mengherankan juga, bahwa ternyata, tidak ada jadwal tertulis untuk latihan itu, tapi masih juga banyak yang berdatangan. Lebih menakjubkan, bahwa ternyata >90% dari remaja-remaja yang rutin melakukan latihan sepakbola di Lapangan Tangkalawa, telah memiliki sepatu bola masing-masing dari yang bermerk Rotan sampai yang bermerek Adidas. Ini luar biasa, saya saja yang terakhir kali membeli sepatu bola di Pasar Sentral RB harus mengorek isi kantong senilai Rp 110.000,- hanya untuk membeli sepatu yang kurang terkenal merknya itupun sangat berat rasanya. Bayangkan !!telah berapa sepatu yang tiap harinya datang di Lapangan Tangkalawa untuk bergentayangan di lapangan, telah berapa pedagang sepatu yang telah diuntungkan olehnya. Investasi seperti apa yang diharapkan oleh mereka ( Lajumaili dkk ) atas kerja keras, biaya, serta keringat yang telah dikeluarkan untuk latihan rutin di lapangan? Mari renungi sejenak.

Meskipun Lajumaili diusianya yang  ke 18 tahun masih harus sangat banyak mengambil contoh dan panutan dari para seniornya, terkhusus orang-orang tua, namun Lajumaili telah juga menyandang status sebagai orang yang tercontoh. Mereka yang menjadi juniornyalah  yang akan mengambil contoh dari Lajumaili ini. Bukankah orang akan cenderung berpikiran bahwa yang pantas untuk dicontohi itu adalah mereka yang lebih tualah, yang lebih banyak mencicipi garam dan asamnya kehidupan, yang tengah jauh berproses untuk menjadi matang? Lajumaili telah sedikit memiliki itu. Lantas bagaimanakah cara Lajumaili dalam sikapnya untuk bisa memberikan contoh yang pantas ditiru, yang pantas untuk diwariskan kepada juniornya ? kalau ternyata, ia Lajumaili mengambil contoh dan panutan dari mereka yang oleh Lajumaili pun bingung dan terpaksa untuk mengikuti, hanya karena minimnya pengetahuannya dan dogma yang mengajarkan bahwa yang tua bisa jadi selalu benar, bagaimana ia bisa yakin telah memberikan contoh yang baik kepada para juniornya?

Setelah pertemuan dengan Lajumaili ditahun 2012 , saya mencoba memaparkan beberapa kenyataan yang coba dirangkaikan dengan lebih halus kedalam cerita hingga tulisan, yang dengan harapan besar untuk dapat bermamfaat kepada pembaca.

Tanggal 19 Agustus 2012, bertepatan dengan Hari Raya Idul Fitri yang 1433 H, merupakan hari yang sangat dinanti-nantikan oleh mereka kaum muslimin sedunia. Bagaimanapun juga, dihari itu, ummat islam sedunia merayakan dengan semangat hari kemenangan yang telah sebulan lamanya dinanti sejak awal Ramadhan. Bagi masyarakat Gu Lakudo, shalat Id di Lapangan Tangkalawa sudah merupakan tradisi sejak bertahun-tahun lamanya. Suara takbir yang memanggil-manggil sejak ba’da shalat maghrib hingga pagi-pagi buta, telah menghiasi malam dan pagi ummat islam Gu Lakudo dihari itu.

Shalat ID Berlangsung Sebagaimana Mestinya
Tepat pukul 06:30-an, telah banyak masyarakat yang berlalu lalang dijalan untuk sekedar menuju Lapangan Tangkalawa guna melansungkan shalat Id tidak terkecuali Lajumaili. Jelas terdengar dari radius 2 km, suara protokoler pertama dibulan suci Ramadhan ( Muhamad Yusuf ) memanggil-manggil mereka yang ingin terpanggil dirinya untuk melaksanakan kebaikan dengan suara takbir yang seolah mengisyaratkan kalau hari itu, dishalat Id, dia ( Muhamad Yususf )akan menjadi lagi seorang Protokoler yang akan berkotek-ketok dihadapan ribuan jamaah shalat Id.

Jalannya shalat Id pun berlangsung sebagaimana mestinya, meskipun malam sebelumnya, setelah shalat maghrib, persiapan PHBI masih 25 % katanya diumumkan lewat masjid dihadapan para jamaah. 

Tanggal 20 Agustus 2012  adalah tanggal dimana mayoritas kaum muslimin se-Indonesia telah seharinya melampaui  hari besarnya (Idul Fitri). Hari itu, sebagaimana biasanya, remaja sekampung Gu Lakudo mayoritas tengah sibuk-sibuknya mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan apa yang akan menyibukkan mereka dalam mengisi waktunya untuk meramaikan suasana Lebaran, baik yang positif sampai yang negative  yang tidak wajib atau bahkan meresahkan masyarakat adanya. 

Lajumaili, yang sedari beberapa tahun silam telah merutinkan sore harinya dengan bermain hingga berlatih sepakbola, terlihat begitu sibuk-sibuknya bersama kawan-kawan setanah dan satu markas gode-godenya untuk melihat bagaimana dampak dan mamfaat dari apa yang telah mereka rutinkan beberapa tahun silam itu. Mereka seolah ingin membuktikan kalimat dari beberapa pujangga, “kerja keras adalah kunci kesuksesan.” Lagipula Tuhan maha adil, mana mungkin Dia menjadikan sia-sia apa yang telah diusahakan Lajumaili dkk. Lantas bagaimana cara Lajumaili untuk melihat hasil dari latihannya selama ini?

Masih pada hari yang sama, setelah selesai shalat ashar, Lajumaili dan kawan-kawan sekawanannya tampak sibuk memilah dan memilih serta menunjuk dan menyebut nama masing-masing  diatas gode-gode. Belum jelas memang apa yang diperdebatkan. Banyak yang lalu lalang di seputaran rumah La ana ( Mukhlis)  bertanya-tanya hingga mengeluhkan aktifitas dari Lajumaili dan kawan-kawannya itu. “ doo hobo o ao ae pa a kanaa nai andoa maicua?? / apa yang diributkan oleh anak-anak itu??” sapa salah seorang pejalan kaki yang  merasa terusik telinganya oleh teriakan-terikan Lajumaili di atas gode-gode yang bagai mantra kedengarannya. 

Sampai beberapa jam lamanya, situasi diskusi serupa terus berlangsung.  Lajumaili nampaknya tengah serius-seriusnya membahas masalah-masalah nama klub sepakbola di forum itu, seperti ketika dulu di DELTA bersuara seluruh jiwa dan raganya hingga tetesan air mata palsu terakhir memperjuangkan nama “Boby Dum” untuk menjadi nama resmi organisasi meskipun akhirnya ditolak. Namun kali ini beda, Lajumaili diforum gode-gode itu begitu tinggi superioritasnya, begitu dipercaya oleh sekawanannya, begitu meyakinkan usianya sehingga menjatuhkan dan menundukkan dagu kawan-kawannya yang lain yang masih lugu. 

Setelah shalat magrib, ketika itu, masih di tempat yang sama, saya secara tidak sengaja melintasi tempat itu dengan maksud berpergian ke Markas DELTA. Sebelum sempat melewatkan Lajumaili dan kawan-kawannya di gode-gode, saya menyempatkan diri untuk menghentikan langkah sejenak lalu mengayunkan 5-10 langkah mendekati Lajumaili dkk. 

“megauko ae Jumaili nae icua?? Ao kahame miu a…?? / apa kalian bikin disitu jumaili?? Kelihatannya ramai sekali ..??”

“ yeiii… miinaa a..tangkanomo ta urusu klub mani inia … / tidak juga… kami hanya mengurus klub kami ini….”jawab santai Lajumaili.

“ klub sao ae hampano??. meyangkafiko futsala ta u anoa inia kha?? / Klub untuk apa?? Kalian hendak ikut lomba futsal ditahun ini??” 

“ ooh……umbe pa a….. tae habu hua klub inia…. AFKER bae MOKODO neanoa…. / ooh….. betul…. Kami buat dua klub….. AFKER dan MOKODO namanya….” Santai Lajumaili.

“ umbe laaah??? La ae hampano manajer miua??? Kabilanga a naoma doi bahi ane hua klub naa a…. / begitu yah??   Memangnya siapa manajer kalian?? Sepertinya akan makan uang banyak kalau dibuat dua klub begitu...” tanyaku kembali kepada Lajumaili.

“ mina bae manajer mania …. Hamboo dua nafokapusi-pusi dua nedaando naaa aa…. Tabayara aomo wuto mani inia pa a…. dahumuhuane… muntaimo dua hua mo onoa hewuaa,,ane dao hamee?? Palingan hua vulu hewu semiaea..   ane nakumoha, palingan namokapoe bapano Zaky / tidak ada manajer kami…. Masa mau dipusingkan sama hal begitu…. Kami bayar sendiri lah…. Patungan… cuman dua ratus ribu juga….kalau ramai?? Paling seorang hanya membayar dua puluh ribuan….kalau kurang, paling akan dicukupkan oleh bapaknya Zaky” Jawab Lagi Lajumaili dengan semakin santai sambil menahan “anci”nya (keringatnya ) yang semakin mengalir dikegelapan karena kelelahan berkotek-kotek di atas gode-gode.

Terjawab sudah apa yang membuat saya penasaran tentang keributan dan gosip apa yang ramai dibahas oleh mereka diatas gode-gode. Rupa-rupanya mereka sedang membahas keiktusertaan mereka dalam ajang pertandingan sepakbola yang mempeributkan hadiah yang lumayan banyak tunainya kata mereka. Sempat terdengar dikumandangkan oleh Lajumaili ketika itu, nama AFKER dan MOKODO. Awalnya dua nama ini sangat membingungkan, namun setelah banyak bertanya, saya baru tahu kalau ternyata dari keseluruhan jumlah Lajumaili dan kawan-kawannya digode-gode itu yang berjumlah belasan orang,ternyata telah terbagi menjadi dua kubuh untuk keikutsertaan mereka dalam ajang futsal cup. Satu kubu bernama AFKER dan yang lainnya bernama MOKODO. Lajumaili sendiri masuk kedalam klub yang bernama AFKER, sementara penghuni MOKODO diisi oleh Laoke, Laputeh dan yang lainnya. 

Saya sempat bertanya-tanya dalam diam tentang dua klub yang akan coba diikutssertakan oleh Lajumaili dan kawan-kawannya ini, bukankah biaya pendaftaran untuk mengikuti ajang futsal tersebut adalah tergolong mahal? Apalagi untuk seusia mereka. Lalu bagaiamana mereka menjadikan urusan itu sebagai sesuatu yang mudah dan tidak terlalul bertel-tele untuk dibahas?? Padahal mereka ( AFKER dan MOKODO) tidak memiliki manager sama sekali ( sehari sebelum pertandingan, Klub AFKER baru bisa mendapatkan Manajer ). Sontak mengagetkan memang mendengar jawaban Lajumaili  ini“ mina bae manajer mania …. Hamboo dua nafokapusi-pusi dua nedaando naaa aa…. Tabayara ao wuto mani pa a…. dahumuhuane… muntaimo dua hua mo onoa hewuaa,,ane dao hamee?? Palingan hua vulu hewu semiea..   / tidak ada manajer kami…. Masa mau dipusingkan sama hal begitu…. Kami bayar sendiri lah…. Patungan… cuman dua ratus ribu juga….kalau ramai?? Paling seorang hanya membayar dua puluh ribuan…..” Yang mengherankan hati adalah, bukankah AFKER dan MOKODO adalah satu perkumpulan anak-anak remaja yang masih belia umurnya? Yang belum berpendapatan tetap dalam penghasilannya.? Lantas bagaimana bisa mereka begitu antusias dalam mengikuti ajang tersebut yang tidak ada jaminan didalamnya untuk kembalinya uang yang mereka investasikan? ataukah mereka bersusah-susah dalam keikutsertaan mereka dalam ajang tersebut untuk sekedar melihat hasil latihannya selama ini?

Satu yang sepertinya ingin ditunjukkan oleh Lajumaili dan kawan-kawan kepada saya malam itu, bahwa dalam hidup ini, apabila kita jalankan dengan keyakinan disertai  dengan ikhtiar apalagi dibarengi dengan doa, maka yakin dan percaya, segala hambatan-hambatan yang menghadang didepan atau yang mengincar dari belakang, akan sangat mudah  untuk dilewati. Meskipun biaya pendaftaraannya menyentuh angka Rp 200.000,- per klub, Lajumaili dan kawan-kawannya rupanya masih bisa saling gotongroyong secara sukarela menyumbangkan uang mereka untuk sekedar melunasi biaya pendaftaraan.

 Kejadian itu mengingatkan saya kepada satu kutipan dari “Ippho Santosa” salah seorang penulis muda yang sangat terkenal dibelantara penulis mudah Indonesia,

“ Sukses itu berawal dari mimpi, keyakinan adalah kuncinya, action adalah pintunya.”

Rasa-rasanya, secara tidak sadar, Lajumaili dan kawan-kawannya telah jauh mengaplikasikan apa isi dari kalimat ini. Bermimpi untuk menjuarai ajang tersebut, yakin dengan kemampuan mereka, dan langsung tancap gas untuk mendaftar, itulah yang dengan yakinnya saya katakan, “bahwa suatu saat Lajumaili dan kawan-kawan dapat berbicra banyak diajang tersebut, terlepas dari kuatnya dan tangguhnya lawan-lawan yang akan mereka hadapi nantinya.” Inilah Lajumaili, Meskipun ketika itu mereka belum berpikir siapa nanti yang akan menjamin adanya aqua dan extra joss di lapangan ketika bermain, toh rupanya bukan menjadi persoalan yang berasa bagi mereka. kalaupun tidak ada aqua dipinggir lapangan, kan masih banyak air PAM didekat lapangan, lebih-lebih air sumur.

Beberapa menit lamanya, saya sempat terperangah sampai terbelalak menyaksikan kekompakkan Lajumaili dan kawan-kawan. Saya mulai berpikir, bukankah Lajumaili dan kawan-kawannya di gode-gode ini berasal dari sekolah yang berbeda? Ada yang berasal dari SMP, MTs,SMA, bahkan MA. Lajumaili sendiri adalah alumni dari SMA, sempat mencicipi bangku MA sebelumnya. Kawan-kawannya di gode-gode itu, banyak yang masih duduk dibangku sekolah SMA dan MA. Hanya segelintir saja yang masih duduk dibangku SMP ataupun MTs. Bagaimana mungkin mereka bisa menyatu hingga menghasilkan kekompakkan yang cukup fenomenal di mata saya.  Sayapun bertanya,

“ Laoke bae Laputeh inia nomaiao o see SMA laah Jumaili?? / Laoke dengan Laputeh ini berasal dari SMA yah Jumaili ??” 

“ooh .. umbee pa a… vee mie inia sumikolahno see SMA a, nando sumikolahno dua see aliyah a. / oooh… iya… berapa orang ini yang dari SMA, dan beberapa juga yang dari Aliyah” jawab santai Lajumaili selaku alumni.
“na amai popande-pande aokooahuu?? Kabilanga a dopo antia maicua hua sekolahno inia ane agustus bae penerimaan siswa baru kolowua…?? / dimana kalian bisa saling kenal ?? perasaan  dua sekolah ini saling membelakangi kalau moment agustus dan moment penerimaan siswa baru ??”

“tapo pande-pande ao wae gode-godeini pa a … paena mungki dapo pande-pande ao wae kalasi !!... eehhh…noseruuahu ane dopoanti-anti pedaa maicua … Ndo kamokula i pa a sao mohobonoa… insiiwoodi inia tado pokalaa-lambumo ane agustus maicua … / kita saling kenalnya lewat Gode-gode ini… mana mungkin saling kenal lewat kelas…!!! Hmm… bagi saya seru kalau mereka ( Instansi Pendidikan ) saling membelakangi begitu… orang-orang tua juga yang akan ribut… kita (Laoke dan kawan-kawan) itu hanya tahunya main saja kalau moment agustus itu….” Jawab Lajumaili sambil mengenang kesunyian agustus beberapa tahun silam.

“kalencunoa hampano seta u noicua nobahi kegiatano agustusa kaah?? Kabilanga na umanga toha a dapotakaia hua sikolano inia ?? / memangnya tahun lalu banyak kegiatan-kegiatan agustusan kah?? Kalau memang begitu, sepertinya akan banyak yang konflik dari dua sekolah ini ??” sedikit memancing Lajumaili.

“ kegiatan ae baha… hua ta u moa inia tangkonomo me Paskibrakanoa kawohakuaa rumepono wae agustus wa a… ambadhoa namada nabertepatan agustus bae ramadhan maicu pa a maka nanumaando kegitan agustusa… koo alulusumoahuu indidia… / kegiatan omong kosong… dua tahun ini hanya mereka yang ikut Paskibraka saja yang saya lihat repot di acara agustus… katanya nanti setelah selesai agustus bertepatan dengan Ramadhan baru ada kegiatan agustus-an…  saya kan sudah lulus kalau begitu…” Lajumaili dengan nada agak sedikit sangat kecewa.

Upacara Pengibaran Bendera: Kegiatan yang Tersisa Beberapa Tahun Ini
Ditengah galaunya Lajumaili kala itu, diam-diam, saya coba bandingkan apa yang dilakukan oleh Lajumaili dan kawan-kawannya ini dengan banyak lembaga dan instansi di Gu Lakudo baik lembaga pemerintahan, maupun instansi pendidikan . Kalau Lajumaili dan kawan-kawannya bisa saling tolong menolong dan kompak bekerjasama dalam keterlibatan mereka dalam kemeriahan ajang futsal disuasana Idul fitri, kenapa pihak terkait, ketika tahun 2010 hingga 2012 tidak mampu untuk memeriahkan detik-detik kemerdekaan Republik Indonesia dengan satu saja kegiatan perlombaan yang bernilai positif? Bukankah diseantero Nusantara dihari itu hampir seluruh wilayahnya berbondong-bondong untuk mendirikan berbagai kegiatan yang besar hingga unik, hanya untuk kemeriahan detik-detik proklamasi? Dengan segala keterbatasannya malah. Tapi ditahun itu, Kecamatan Lakudo yang beribukotakan Gu, hanya bisa memeriahkan Hari Kemerdekaan Indonesia dengan Upacara Pengibaran Bendera di pagi hari dan Upacara Penurunan Bendera disore harinya. Sekedar memenuhi kewajiban berbangsa dan bernegara katanya. Vakum memang atau bagaimana, atau kurang ide, atau terlalu sulit mengkoordinir mereka yang seharusnya bisa dikoodinir? 

Salah satu alasannya yang sangat kuat katanya dan diterima oleh khalayak ramai adalah karena ditahun itu, untuk memeriahkan dan mengisi detik-detik hari kemerdekaan Indonesia, kabarnya dari Kecamatan Lakudo masih berbenturan dengan yang namanya Ramadhan. Hanya karena Ramadhan, berbagai kegiatan yang ditahun-tahun sebelumnya rutin diadakan, ketika 2010 hingga 2012 divakumkan begitu saja. Bukankah itu namanya kurang kreatif ? Ramadhan itu kan bulan penuh berkah dan hikmah, harusnya jangan dijadikan “kambing hitam” dalam ketidakpedulian, “kambing hitam” saja masih rindu dengan yang namanya kemeriahan. 

Disitu, dibulan ramadhan, bulan dimana “setan-setan” dan kawan-kawan sekawanannya dirantai dan diikat supaya tidak banyak menggombali manusia, justru harusnya menjadi moment yang pass untuk mentaatkan para peserta kegiatan yang biasanya tidak taat diluar bulan Ramadhan. Kalau tidak mau dibilang tidak kreatif, minimal tidak kan bisa adakan saja lomba panjat pinang, hadiahnya yang ada dipucuk pinangnya kan ada “setan-setan” yang dirantai, diatasnya ada hadiah lain semisal; sepeda dan kulkas.

Keberadaan kegiatan untuk kemeriahan detik-detik proklamasi dikhawatirkan dan ditakutkan bisa mengganggu aktivitas umat islam dalam menjalankan ibadah puasa dibulan ramadhan, dikarenakan mungkin kegiatannya berhubungan dengan fisik dan kebugaran sehingga memeras energi dan kekuatan pesertanya, begitulah salahsatu alasan yang cukup rasional yang sempat terdengarkan gaungnya ketelinga semua pihak. Kemeriahan tidak sertamerta harus diisi dengan kegiatan yang menguras energi. Lagipula tidak ada aturan yang mewajibkan dari pemerintah untuk mengisi detik-detik proklamasi dengan kegiatan yang bernuansa PON atau OLIMPIADE. Lomba angkat besi kan tidak perlu diadakan, lagipula mau ambil dimana besinya? Tidak mesti harus kegiatan yang sama tiap tahunnya. Kalau masih bingung, Kenapa tidak diadakan saja kegiatan yang bernuansa keagamaan atau keislaman? Kegiatan keagamaan lebih condong bersifat artistik dan intelektual, sehingga peluang untuk terkurasnya keringat peserta bisa diminimalkan atau bahkan tidak ada. Kalaupun ada, keringat dinginlah yang tercucur dari kulit peserta.

 Bukankah ramadhan akan lebih berkah jika diisi dengan kegiatan-kegiatan yang bernuansa keagamaan ? Lagipula, bukan hanya orang-orang yang mengisi Ramadhan dengan kegiatan positif saja yang mendapat keberkahan, bahkan kampungnya pun akan ikut berkah. Sebagaimana salahsatu kalimat yang pernah muncul TV One, “Kalau bulan ramadhan diisi dengan yang positif, ‘ setan dan telur-telurnya ‘pun akan takut bergentayangan diwilayah itu.” Alangkah akan sangat berdampak positifnya bila kegiatan-kegiatan perlombaan yang bernuansa keagamaan bisa dilaksanakan dimoment detik-detik Proklamasi di bulan Ramadhan. 

Meskipun telah banyak masukan dan saran terkait kegiatan bernuansa keagamaan atau keislaman di Kecamatan Lakudo yang dilontarkan oleh berbagai pihak, namun untuk terealisasinya  bukanlah hal yang mudah. Ternyata untuk mewujudkan kegiatan keagamaan tersebut, akan mendapat hambatanan yang cukup serius  yang berupa tarik-ulur kepentingan dari beberapa kubuh. Mungkin karena  adanya dua kubu instansi pendidikan di Kecamatan Lakudo yang saling tidak senang melihat yang lainnya unggul. “Ane damoehe kegiatan keagamaan nedanndo naa a, koo tada mala i yo sikolah agama laidi pialanoa…!! / kalau diadakan kegiatan keagamaan seperti itu, justru sekolah keagamaanlah yang akan rebut pialanya…!! ,” salah satu komentar yang sempat muncul di salahsatu pos perkumpulan samping Balai Kelurahan ketika awal juli 2010. Bisa ditangkap memang apa maksud dari isi komentar tersebut. 

Dari komentar tersebut pula, semakin menegaskan kepada kita, bahwa tidak hanya masyarakatnyalah yang terkotak-kotak hingga saling membelakangi, bahkan ternyata instansi pendidikan ( lebih tepatnya oknum yang melenceng) yang seharusnya bisa memberi contoh yang lebih mendidik kepada Lajumaili dan kawan-kawannya justru mengotakkan diri masing-masing kedalam dua kubu besar yang padahal memiliki fungsi yang sama yaitu memberikan layanan pendidikan kepada masyarakat. Maka dari sinilah terungkap, kegiatan yang bernuansa keagamaan untuk mengisi detik-detik Kemerdekaan Republik Indonesia dibulan Ramadhan ditiadakan, karena dikhawatirkan akan menguntungkan pihak yang satu dan tidak menguntungkan kepada pihak yang lain. 

Satu lagi yang lebih mengherankan dengan begitu banyaknya dalih yang ada. Seandainya alasan minim hingga vakumnya kegiatan memeriahkan Proklamasi masih karena ramadhan, lantas kenapa bisa ditahun 2009 ( awal ramadhan jatuh pada akhir-akhir bulan agustus ) porsi kegiatan untuk tingkat desa/kelurahan  sangat-sangat minim? Faktor kemalasankah, tidak ada anggarankah, tidak siapnya panitiakah, atau karena ditahun itu bertepatan dengan kepentingan PEMILU ??? Lajumailipun rupanya ikut bingung diatas gode-gode jika memikirkannya bahkan kalau perlu akan menggeleng-gelengkan kepalanya sebanyak tiga kali. 

        Malam mulai menunjukkan pukul 20:40 WITA, cukup lama waktu yang saya gunakan untuk mampir di gode-gode tempat Lajumaili dan kawan-kawannya berdiskusi. Sampai-sampai saya lupa kalau tujuan awal keluar dimalam itu adalah untuk menuju ke Markas DELTA dalam rangka nge-gosip bersama Laaipo dan Takeshi ( Ketua Delta ). Sedari selesai shalat maghrib kala itu, Lajumaili dan kawan-kawannya duduk berteriak-teriak depan rumah La Ana ( Mukhlis ) demi masa depan persepakbolaan mereka. Menyandang status sebagai seorang lulusan Sekolah Lanjutan Tingkat  Atas, rupanya Lajumaili menyimpan banyak keluhan dan kekecewaan ketika dulu masih menjadi siswa. Keluhannya itupun sebagian diluapkan diatas gode-gode depan rumah La Ana, hingga terpaku mereka yang mendengarkannya ( termasuk saya sendiri). Setelah puas mendengarkan, saya pun pamit untuk berangkat menuju Markas DELTA.

        Dalam perjalanan menuju Markas DELTA, beberapa info penting sampai keluhan tingkat tinggi, telah terserap kedalam pikirin saya lewat informasi yang dikeluarkan oleh Lajumaili dari mulut manisnya. Ada begitu banyak keluhan Lajumaili mengenai ketiadaan kegiatan Agustus ketika dulu masih menjadi siswa. Lajumaili sangat menyesalkan masa-masanya di bangku sekolah. “ Taa dua alulusumoa bela mina bae kegiatana agustus hua ta uinia,,, lateea ka asi noa nga ananti-nantiea ae yangkafi golua sao abela sikolakua… / sampe saya luluspun tidak kegiatan dalam dua tahun ini… padahal saya sangat menanti-nanti ikut dalam lomba sepakbola untuk membela sekolahku.” Mungkin keluhan ini yang sempat tersirat dalam raut wajah Lajumaili ketika bercerita diatas gode-gode.




BEBERAPA FOTO KEMERIAHAN AGUSTUSAN-AN TAHUN 2008-2010




        Mewakili Lajumaili, semoga saja keluhan ini dapat terdengarkan atau terpantaukan oleh mereka yang berkaitan secara langsung maupun tidak langsung dengan eksistensi kegiatan memperingati detik-detik Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dibulan agustus khususnya Kecamatan Lakudo. Jangan sampai akan banyak anak sekolah yang merasa tidak tersalurkan bakatnya dengan tidak adanya wadah seperti perlombaan positif memeriahkan detik-detik Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Berkaca dari Lajumaili dan kawan-kawannya, tentang semangat dan ikhtiar yang mereka terapkan dalam kehidupan mereka, tentang memeriahkan, tentang harapan adanya kegiatan positif. Janganlah perbedaan ( dua Instansi Pendidikan) menjadikan terpecah belah. Janganlah moment detik-detik Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dijadikan sebagai moment untuk menjatuhkan antar kubuh ( instansi pendidikan). Bukankah Lajumaili dan kawan-kawannya bisa bersatu dan kompak dalam perbedaan. Oleh Lajumaili, semoga tahun-tahun mendatang, apa yang menjadi harapannya ini bisa terdengarkan hingga terealisasikan.








BERSAMBUNG . . .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar