CAESAR
DAN LAPANGAN BADMINTON
*_Seperti angin membadai
kau tak melihatnya
Kau merasakannya
Merasakan kerjanya saat
ia memindahkan gunung pasir di tengah laut
Atau meransang amuk
gelombang di laut lepas
Atau Melululantahkan
bangungan-bangunan angkuh di pusat kota metropolitan
Begitulah cinta
Dia ditakdirkan menjadi
kata tanpa benda
Tak terlihat, hanya
terasa, tapi dahsyat
Seperti banjir mendera
Kau tak kuasa
mencegahnya
Kau hanya bisa
terngangah ketika ia meluapi sungai-sungai
Menjamah seluruh
permukaan bumi
Menyeret semua benda
angkuh yang bertahan dihadapannya
Dalam sekejap ia
menguasai bumi
Dan merengkuhnya dalam
kelembutannya
Setelah itu,
Ia kembali tenang
Seperti seekor harimau
kenyg yang terlelap tenang
Demikianlah Cinta
Ia ditakdirkan jadi
makna paling santun yang menyimpan kekuatan besar
Seperti api
manyala-nyala
Kau tak kuat melawannya
Kau hanya bisa menari
disekitarnya saat ia mengunggun
Atau berteduh saat
matahari membakar kulit bumi
Atau meraung saat
lidahnya melahap rumah-rumah, kota-kota, dan hutan-hutan
dan seketika semua jadi
abu semua jadi tiada
Seperti itulah Cinta._
Begitulah suasana hati
Caesar ketika dirinya baru saja tuntas terlibat percakapan via sms dengan
seorang yang tidak di kenalnya. Paling-paling seorang pengagum rahasia yang
penasaran dengan kepribadian saya, pikir Caesar.
Tak ada yang tahu
darimana atau kemana Caesar sebelum ini. Hanya, ketika dia tengah bersiap-siap
merapikan diri menuju sang pengagum, dia berada tepat di kamarnya. Mungkin saja
sebelumnya dia baru saja keluar daru rumah, atau shalat terawih di masjid lain,
atau, mungkin saja dia telah lama berada di kamar miliknya seharian itu.
Sambil bersiul depan
cermin, dengan tiga celupan minyak rambut tokyo
yang meng-kilapkan rambut, kemudian dengan bantuan sebuah sisir, Caesar memulai
eksperiman memodif rambut miliknya hingga mencapai style maksimum. Begitu seterusnya, terus mengotak-atik rambutnya
hingga beberapa lama waktunya. Tak tanggung-tanggung, untuk itu dia
menghabiskan waktunya sekitar 15 menitan. Waktu yang sebenarnya sudah lebih
dari cukup untuk pergi menuju lapangan badminton dan balik kembali ke kamarnya.
Inilah
cinta, tak terbendungkan oleh usia. Bahkan jika saya sudah berumur pun dan kamu
masih belia seperti itu, engkau tentu masih mungkin akan kagum kepadaku. Aku
berdiri depan cermin ini, tak serta merta untuk berhadapan dengan seorang
wanita, pikirku, akan kuhadapi dihadapan saya nanti, seorang Bidadari yang
telah lama memandangku dan dengan usahanya yang gigih berhasil melacak
keberadaanku,melacak nomorku hingga sampai saat ini berkesempatan bertemu
langsung denganku. Matanya
masih terus saja memandang dirinya dari pantulan cermin. Dibalikkannya badannya
ke kiri dan ke kanan berkali-kali jumlahnya sampai ia yakin bahwa stylenya sudah lebih dari cukup untuk
memuaskan pandangan gadis yang menurutnya ‘sang pengagum’. Saya rasa cukup,
pikir Caesar setelah lama menilai penampilannya di hadapan cermin ukuran
0,7X1,5M.
Dia lalu bergegas
meninggalkan kamarnya dengan hati berbunga-bunga dan dagu terangkat ke atas.
Dia mengambil lagi HP miliknya, merasa kurang yakin dengan sms yang di baca
sebelumnya.“ di Mataole, di samping
lapangan badminton. Saya tunggu sekarang!” jalannya agak sedikit
terburu-buru sekarang seperti seorang penumpang yang tengah menuju anak tangga
menaiki kapal. Dia baru sadari bahwa dalam sms itu ada sebuah kata penekanan
yang mungkin akan mengancam jadi dan tidaknya pertemuan itu;‘sekarang’. Ayunan
langkahnya makin dipercepat saja, rasa khawatirnya itu sekarang membuat dia
menjadi takut jika sang pengagum tidak betah lagi menanti dan memilih untuk
membatalkan janjinya lalu lekas pergi dari tempat itu sebelum Caesar tiba.
Semua menjadi ironi. Ketika Caesar menganggap sang penanti itu adalah sang
pengagum. Lalu mengapa, mengapa dia yang jadi khawatir? Atau kenapa juga yang
memilih tempat itu adalah sang pengagum, dan bukan dia. Pikiran ironi itu terus
mengganggu Caesar selama ayunan langkahnya menuju tempat yang di janjikan. Ia
tidak fokus lagi dengan jalan yang di lintasinya, hingga tiba-tiba, Plak!!!
Sebuah pepaya yang masih muda tertanduk pada kepalanya. Menyadari begitu banyak
tumbuhan di jalur lintasannya itu, dia kemudian memilih jalan memutar, melewati
satu lorong sempit nan gelap. Dari lorong itu, dia mendapati satu gode-gode
yang masih tak berpenghuni, gode-gode La Rou. Sambil berjalan terburu-buru, ia
masih sempat berpikir untuk rencana pertemuannya itu.Gode-gode yang barusan itu sepertinya bisa jadi tempat yang bagus dan
cocok untuk bertemu dengan gadis itu. Lagipula jaraknya tidak terlalu jauh dari
lapangan Badminton. Pikir Caesar lalu secepat kilat berlalu dari gode-gode
itu. Dia melanjutkan ayunan langkahnya menuju tempat tujuan.
Caesar kemudian dibuat
sangat bingung, tak ada satupun sosok seorang gadis di sekitaran lapangan
badminton setibanya ia di tempat itu. Hanya rumah-rumah yang kelihatan sepi
yang ia lihat sejauh mata memandang. Tak ada yang memanggil namanya di tempat
itu. Bahkan ketika dia melangkahkan kakinya ketengah lapangan badminton, masih
belum juga ada tanda-tanda akan seorang gadis yang akan meunjukkan dirinya.
Untuk beberapa lama dia masih terus berada di tempat itu. Sampai ketika
dirasakannya akan sesuatu yang ganjil, Caesar lalu kemudian memasukan tangannya
pada salahsatu saku celananya. Meraba-raba didalamnya lalu menggapai HP
miliknya. “Kamu dimana? Saya sudah di
lapangan Badminton sekarang inie…” lalu mengirim pesan tersebut pada saat
itu juga. Setelah itu dia berdiri untuk beberapa saat lamanya menanti kejelasan
posisi dari sang pengagum.
***
Merasa
ada sesuatu getaran pada celana miliknya, La Otde langsung berdiri, berdiri
dari tempat duduknya lalu secepat kilat mengambil Hpnya dalam saku celananya. “Kamu dimana? Saya sudah di lapangan
Badminton sekarang inie…” sms itu di bacanya. Menyadari pesan itu berasal
dari Caesar, La Otde langsung memanggil Alan. “ Alan, kamu ke sini sebentar!”
serunya kepada Alan.
“ Ada apa?” Alan
kemudian bergegas menuju La Otde meninggalkan Laade yang sedari tadi
menelan-nelan air ludahnya.
“ ternyata… Caesar benar menuju lapangan badminton!” sambil menghadapkan isi smsnya pada Alan.
“ jadi?”
“ yah, kita balas
smsnya.”
“ kalau begitu, kamu
balas sekarang!”
“ isinya? Seperti apa?”
Alan menyadari betul
antara saat ketika mereka meng-sms Caesar untuk menuju Badminton dengan balasan
yang masuk memiliki jedah yang cukup lama. “ oh, saya tahu.” Kata Alan setelah
yakin dengan pemikirannya. “ balas seperti ini saja!” kemudian menekan beberapa
tombol huruf pada HP milik La Otde. “
saya sudah tunggu dari tadi… tapi kamu lama sekali datangnya… makanya, karena
sudah larut saya lebih baik pulang dulu di rumah. Nanti kapan-kapan saja iya
kita ketemunya?” ketikan Alan dan langsung mengirimnya.
“ cerdas juga kamu yah?”
puji La Otde pada Alan. “ darimana kamu tahu kalau Caesar datangnya lama?”
Alan hanya tersenyum
tipis sambil mencoba mengarahkan pandangan La Otde pada Laade yang terdiam. “
kamu tahu ‘kan saya nonton apa di sudut sana?”
La Otde kelihatan
bingung.
“ setelah kita kirim sms
yang terakhir kalinya sebelum ini, saya sudah nonton 12 judul video dengan
Laade di sana sampai datangnya panggilanmu barusan. Saya kira itu adalah waktu
yang cukup lama untuk waktu seorang gadis menanti lelaki di jam malam seperti
ini.”
“ ha ha ha…” tawa La
Otde kedengaran renyah. “ bagus, bagus, kamu orangnya cerdas.”
Alan juga ikut
terbahak-bahak bersama La Otde. “ belum tahu dia.”
Keduanya pun secara
bersama-sama terbahak-bahak untuk beberapa saat lamanya hingga goncangan HP
pada genggaman Alan bergetar kembali menghentikan tawa kedua anak muda itu.
“ apa balasannya?” tanya
La Otde.
“
okemhy, nanti besok malam kita ketemu. Saya mau balik dulu kalau begitu.”
“ terus, apa kita balas
sekarang?” tanya La Otde lagi pada Alan.
Alan langsung mengetik
dengan cepat pada HP itu membalas sms dari Caesar yang tengah mereka kelabui.
“
iya, kak. Kaka hati-hati di jalan. And, jangan lupa sebentar kalau ada waktu
‘TELPON’ saya yah?”
La Otde hanya
geleng-geleng kepala membaca balasan dari Alan tersebut. “ bagaimana kalau dia
benar menelpon?” khawatir La Otde. “ lagipula di sini tidak ada perempuan yang
bisa membantu kita untuk berbicara melalui telpon dengan Caesar.”
Alan hanya tersenyum
tipis pada La Otde. “ percaya pada saya!” yakin Alan. “ Dia tidak akan berani
menelpon. Kalaupun toh nanti dia berani menelpon, yah, tidak usah kita angkat!”
“ tidak, tidak , jangan
sampai dia kecewa.” Khawatir lagi La Otde.
“ kita alasan, sory kak,
tadi malam saya ketiduran, ‘kan gampang!” yakin Alan. “ pasti dia akan
mengerti!”
La Otde kali ini hanya
bisa menganggukkan kepala memuji pada cemerlangnya daya pikir Alan yang briliant dan cepat hingga tepat.
***
Bersambung...

Tidak ada komentar:
Posting Komentar