GU LAKUDO

GU LAKUDO
Masjid Agung Nurul Huda Gu-Lakudo

Selasa, 22 Januari 2013

CINTA CAESAR #3




CAESAR DAN LAPANGAN BADMINTON






*_Seperti angin membadai kau tak melihatnya
Kau merasakannya
Merasakan kerjanya saat ia memindahkan gunung pasir di tengah laut
Atau meransang amuk gelombang di laut lepas
Atau Melululantahkan bangungan-bangunan angkuh di pusat kota metropolitan
Begitulah cinta
Dia ditakdirkan menjadi kata tanpa benda
Tak terlihat, hanya terasa, tapi dahsyat
Seperti banjir mendera
Kau tak kuasa mencegahnya
Kau hanya bisa terngangah ketika ia meluapi sungai-sungai
Menjamah seluruh permukaan bumi
Menyeret semua benda angkuh yang bertahan dihadapannya
Dalam sekejap ia menguasai bumi
Dan merengkuhnya dalam kelembutannya
Setelah itu,
Ia kembali tenang
Seperti seekor harimau kenyg yang terlelap tenang
Demikianlah Cinta
Ia ditakdirkan jadi makna paling santun yang menyimpan kekuatan besar
Seperti api manyala-nyala
Kau tak kuat melawannya
Kau hanya bisa menari disekitarnya saat ia mengunggun
Atau berteduh saat matahari membakar kulit bumi
Atau meraung saat lidahnya melahap rumah-rumah, kota-kota, dan hutan-hutan
dan seketika semua jadi abu semua jadi tiada
Seperti itulah Cinta._


Begitulah suasana hati Caesar ketika dirinya baru saja tuntas terlibat percakapan via sms dengan seorang yang tidak di kenalnya. Paling-paling seorang pengagum rahasia yang penasaran dengan kepribadian saya, pikir Caesar.

Tak ada yang tahu darimana atau kemana Caesar sebelum ini. Hanya, ketika dia tengah bersiap-siap merapikan diri menuju sang pengagum, dia berada tepat di kamarnya. Mungkin saja sebelumnya dia baru saja keluar daru rumah, atau shalat terawih di masjid lain, atau, mungkin saja dia telah lama berada di kamar miliknya seharian itu.

Sambil bersiul depan cermin, dengan tiga celupan minyak rambut tokyo yang meng-kilapkan rambut, kemudian dengan bantuan sebuah sisir, Caesar memulai eksperiman memodif rambut miliknya hingga mencapai style maksimum. Begitu seterusnya, terus mengotak-atik rambutnya hingga beberapa lama waktunya. Tak tanggung-tanggung, untuk itu dia menghabiskan waktunya sekitar 15 menitan. Waktu yang sebenarnya sudah lebih dari cukup untuk pergi menuju lapangan badminton dan balik kembali ke kamarnya.

Inilah cinta, tak terbendungkan oleh usia. Bahkan jika saya sudah berumur pun dan kamu masih belia seperti itu, engkau tentu masih mungkin akan kagum kepadaku. Aku berdiri depan cermin ini, tak serta merta untuk berhadapan dengan seorang wanita, pikirku, akan kuhadapi dihadapan saya nanti, seorang Bidadari yang telah lama memandangku dan dengan usahanya yang gigih berhasil melacak keberadaanku,melacak nomorku hingga sampai saat ini berkesempatan bertemu langsung denganku. Matanya masih terus saja memandang dirinya dari pantulan cermin. Dibalikkannya badannya ke kiri dan ke kanan berkali-kali jumlahnya sampai ia yakin bahwa stylenya sudah lebih dari cukup untuk memuaskan pandangan gadis yang menurutnya ‘sang pengagum’. Saya rasa cukup, pikir Caesar setelah lama menilai penampilannya di hadapan cermin ukuran 0,7X1,5M.

Dia lalu bergegas meninggalkan kamarnya dengan hati berbunga-bunga dan dagu terangkat ke atas. Dia mengambil lagi HP miliknya, merasa kurang yakin dengan sms yang di baca sebelumnya.“ di Mataole, di samping lapangan badminton. Saya tunggu sekarang!” jalannya agak sedikit terburu-buru sekarang seperti seorang penumpang yang tengah menuju anak tangga menaiki kapal. Dia baru sadari bahwa dalam sms itu ada sebuah kata penekanan yang mungkin akan mengancam jadi dan tidaknya pertemuan itu;‘sekarang’. Ayunan langkahnya makin dipercepat saja, rasa khawatirnya itu sekarang membuat dia menjadi takut jika sang pengagum tidak betah lagi menanti dan memilih untuk membatalkan janjinya lalu lekas pergi dari tempat itu sebelum Caesar tiba. Semua menjadi ironi. Ketika Caesar menganggap sang penanti itu adalah sang pengagum. Lalu mengapa, mengapa dia yang jadi khawatir? Atau kenapa juga yang memilih tempat itu adalah sang pengagum, dan bukan dia. Pikiran ironi itu terus mengganggu Caesar selama ayunan langkahnya menuju tempat yang di janjikan. Ia tidak fokus lagi dengan jalan yang di lintasinya, hingga tiba-tiba, Plak!!! Sebuah pepaya yang masih muda tertanduk pada kepalanya. Menyadari begitu banyak tumbuhan di jalur lintasannya itu, dia kemudian memilih jalan memutar, melewati satu lorong sempit nan gelap. Dari lorong itu, dia mendapati satu gode-gode yang masih tak berpenghuni, gode-gode La Rou. Sambil berjalan terburu-buru, ia masih sempat berpikir untuk rencana pertemuannya itu.Gode-gode yang barusan itu sepertinya bisa jadi tempat yang bagus dan cocok untuk bertemu dengan gadis itu. Lagipula jaraknya tidak terlalu jauh dari lapangan Badminton. Pikir Caesar lalu secepat kilat berlalu dari gode-gode itu. Dia melanjutkan ayunan langkahnya menuju tempat tujuan.

Caesar kemudian dibuat sangat bingung, tak ada satupun sosok seorang gadis di sekitaran lapangan badminton setibanya ia di tempat itu. Hanya rumah-rumah yang kelihatan sepi yang ia lihat sejauh mata memandang. Tak ada yang memanggil namanya di tempat itu. Bahkan ketika dia melangkahkan kakinya ketengah lapangan badminton, masih belum juga ada tanda-tanda akan seorang gadis yang akan meunjukkan dirinya. Untuk beberapa lama dia masih terus berada di tempat itu. Sampai ketika dirasakannya akan sesuatu yang ganjil, Caesar lalu kemudian memasukan tangannya pada salahsatu saku celananya. Meraba-raba didalamnya lalu menggapai HP miliknya. “Kamu dimana? Saya sudah di lapangan Badminton sekarang inie…” lalu mengirim pesan tersebut pada saat itu juga. Setelah itu dia berdiri untuk beberapa saat lamanya menanti kejelasan posisi dari sang pengagum.


***

            Merasa ada sesuatu getaran pada celana miliknya, La Otde langsung berdiri, berdiri dari tempat duduknya lalu secepat kilat mengambil Hpnya dalam saku celananya. “Kamu dimana? Saya sudah di lapangan Badminton sekarang inie…” sms itu di bacanya. Menyadari pesan itu berasal dari Caesar, La Otde langsung memanggil Alan. “ Alan, kamu ke sini sebentar!” serunya kepada Alan.

“ Ada apa?” Alan kemudian bergegas menuju La Otde meninggalkan Laade yang sedari tadi menelan-nelan air ludahnya.

            “ ternyata… Caesar benar menuju lapangan badminton!” sambil menghadapkan isi smsnya pada Alan.

“ jadi?”

“ yah, kita balas smsnya.”

“ kalau begitu, kamu balas sekarang!”

“ isinya? Seperti apa?”

Alan menyadari betul antara saat ketika mereka meng-sms Caesar untuk menuju Badminton dengan balasan yang masuk memiliki jedah yang cukup lama. “ oh, saya tahu.” Kata Alan setelah yakin dengan pemikirannya. “ balas seperti ini saja!” kemudian menekan beberapa tombol huruf pada HP milik La Otde. “ saya sudah tunggu dari tadi… tapi kamu lama sekali datangnya… makanya, karena sudah larut saya lebih baik pulang dulu di rumah. Nanti kapan-kapan saja iya kita ketemunya?” ketikan Alan dan langsung mengirimnya.

“ cerdas juga kamu yah?” puji La Otde pada Alan. “ darimana kamu tahu kalau Caesar datangnya lama?”

Alan hanya tersenyum tipis sambil mencoba mengarahkan pandangan La Otde pada Laade yang terdiam. “ kamu tahu ‘kan saya nonton apa di sudut sana?”

La Otde kelihatan bingung.

“ setelah kita kirim sms yang terakhir kalinya sebelum ini, saya sudah nonton 12 judul video dengan Laade di sana sampai datangnya panggilanmu barusan. Saya kira itu adalah waktu yang cukup lama untuk waktu seorang gadis menanti lelaki di jam malam seperti ini.”

“ ha ha ha…” tawa La Otde kedengaran renyah. “ bagus, bagus, kamu orangnya cerdas.”

Alan juga ikut terbahak-bahak bersama La Otde. “ belum tahu dia.”

Keduanya pun secara bersama-sama terbahak-bahak untuk beberapa saat lamanya hingga goncangan HP pada genggaman Alan bergetar kembali menghentikan tawa kedua anak muda itu.

“ apa balasannya?” tanya La Otde.

“ okemhy, nanti besok malam kita ketemu. Saya mau balik dulu kalau begitu.”

“ terus, apa kita balas sekarang?” tanya La Otde lagi pada Alan.

Alan langsung mengetik dengan cepat pada HP itu membalas sms dari Caesar yang tengah mereka kelabui.

“ iya, kak. Kaka hati-hati di jalan. And, jangan lupa sebentar kalau ada waktu ‘TELPON’ saya yah?”

La Otde hanya geleng-geleng kepala membaca balasan dari Alan tersebut. “ bagaimana kalau dia benar menelpon?” khawatir La Otde. “ lagipula di sini tidak ada perempuan yang bisa membantu kita untuk berbicara melalui telpon dengan Caesar.”

Alan hanya tersenyum tipis pada La Otde. “ percaya pada saya!” yakin Alan. “ Dia tidak akan berani menelpon. Kalaupun toh nanti dia berani menelpon, yah, tidak usah kita angkat!”

“ tidak, tidak , jangan sampai dia kecewa.” Khawatir lagi La Otde.

“ kita alasan, sory kak, tadi malam saya ketiduran, ‘kan gampang!” yakin Alan. “ pasti dia akan mengerti!”

La Otde kali ini hanya bisa menganggukkan kepala memuji pada cemerlangnya daya pikir Alan yang briliant dan cepat hingga tepat.

***
Bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar