GU LAKUDO

GU LAKUDO
Masjid Agung Nurul Huda Gu-Lakudo

Selasa, 22 Januari 2013

CINTA CAESAR #5





CAESAR DAN SINETRON KCB




Di perjalanan, saat suara gemuruh semangat mulai menghilang, dengan suara pijakan kaki yang sama berirama, Andi menyempatkan diri bertanya kepada Alan. “ Alan, sebenarnya... karena kamu, harga diri MABES agak sedikit menurun” keluh Andi pada Alan.

“ karena saya?” kata Alan keheranan. “ kalau boleh tahu, apa yang telah saya perbuat hingga sampai begitu?”

“ karena hobymu setelah shalat Isya itu.”

“ suka pulang ke rumah?”

“ bukan!”

“ terus?”
 
“ mmmm.... lebih dari itu.”

“ yang mana?” Alan mulai bingung.

“ tentang hobimu nonton sinetron itu.”

“ KCB maksudmu?”

“ iya, KETIKA CINTA BERTASBIH.” Jelas Andi.
 
“ oh, yang itu! Caesar juga hoby setahu saya” jawab Alan dengan legah. “ kalau 
menurutku itu tak mengapa.”

“ tak mengapa bagaimana?” kata Andi. “ itu ‘kan hoby kebanyakan perempuan dan ibu-ibu rumah tangga!”

  selama saya masih bersikap selayaknya seorang laki-laki ‘kan tak mengapa!”

“ iya, tapi ‘kan?” Alan menghela napasnya. “ jadi begini, soal sinetron itu, kisahnya itu ‘kan tentang kisah-kisah islamih. Jadi tidak seperti sinetron kebanyakan...lagi pula cerita di dalamnya cukup heroik dan dramatis serta menguras emosi penonton ketika menyaksikannya.” Kata Alan.

“ jalan ceritanya berbeda dengan kisah-kisah sinetron lainnya?”
 
“ berbeda dengan banyak kelebihan.” tambah Alan, yakin.

“ oh, kalau begitu, boleh yah kamu ceritakan sepenggal dari jalan cerita sintron KCB yang kamu nonton ba’da isya tadi sebelum kamu datang ke Markas.”

“ boleh saja.” Kata Alan.

Kepala Caesar seketika berbalik pada kedua sosok itu, Andi dan Alan. “ jangan!” kata Caesar. “ kamu tidak usah ceritakan, lagipula kita sudah dekat akan sampai ke gode-gode itu. “

“ masih lama sepertinya.” ucap Andi.

“ iya, lagipula kalau hanya cerita intinya saja, pasti sebelum gode-gode saya sudah selesaikan itu cerita.” Kata Alan memberikan jawaban.

“ pokoknya jangan!” Caesar sedikit memaksa.

“ kamu langsung cerita saja, Alan!” kata Andi yang semakin penasaran.

Abang Phyton yang juga mendengat percakapan itu, memalingkan wajahnya ke belakang menoleh pada sumber kegaduhan itu. “ cerita saja, Alan! Apa susahnya?” kata Phyton dengan suara lantang.

Dan, karena suaranya yang lantang itu, keseluruhan yang lainnya langsung terfokus pada sumber kegaduhan. Seketika suasana menjadi hening. Hanya suara langkah-langkah kaki yang jelas terdengar. Dan Alan, langsung menyadari itu, bahwa saat itu, ucapannya lah yang dinanti.

“ oke, saya akan bercerita.” Kata Alan.

Mendengar itu, Caeasar hanya melangkahkan kakinya beberapa jarak dari Alan, menjauhinya, menghindari dalam perjalanan terganggu dengan cerita Alan.

“ jadi begini!” kata Alan. “ ... Alan lalu bercerita, mencoba mengisahkan apa saja yang ia saksikan dalam sinetron Ketika Citna Bertasbih. Tepat setelah shalat isya, Alan seperti biasanya langsung pulang ke rumah untuk menyaksikan sinetron yang menurutnya bagus dan layak untuk ditonton. Ketika itu, pada saat Alan sedang mengatur posisi tinggi bantal untuk kenyamanannya dalam menonton sinetron, di televisi, tampak salahsatu adegan yang cukup menggetarkan hatinya.
Seorang perempuan cantik bertemu seorang laki-laki cerdas berpengetahuan luas di depan bangunan pesantren. Perempuan yang cantik bagai bidadari itu sangat tertarik pada sosok laki-laki yang baru ditemuinya itu.
Bidadari itu menyimpan rasa kagum pada laki-laki itu. Perhatiannya ia tujukan dengan nampak pada laki-laki itu. Dan si laki-laki, dengan jiwa besar, menerima dengan tangan terbuka perlakuan dan perhatian yang diberikan oleh si Bidadari. Beberapa hari berlalu, dan tetap saja perhatian Bidadari itu pada sang Laki-laki terus ia berikan. Kiriman-kiriman surat dan banyak suvenir terus ia hadiahkan pada Laki-laki itu, begitu juga sebaliknya, setiap kali sang laki-laki itu mendapat kiriman hadiah, barang atau surat ia juga selalu membalas dengan melakukan hal yang sama. Ha ini berlangsung untuk beberapa lama waktunya. Dan semakin sering dan intens dilakukan, Bidadari itu mulai merasa adanya hubungan spesial antara mereka. Bidadari itu meyakini kalau-kalau sang Laki-laki juga punya perasaan yang sama padanya seperti apa yang ia rasakan pada laki-laki cerdas itu.
            Hingga suatu saat, untuk mencoba meyakinkan dugaannya itu, sang Bidadari lalu berinisiatif untuk bertatap muka langsung secara empat mata dengan Laki-laki yang menjadi pujaan hatinya. Ia hanya ingin memastikan rasa yang dirasakan sang Laki-laki itu sama dengan apa yang ia rasakan. Keinginan untuk bertemu itu ia sampaikan pada laki-laki lewat surat dengan menitipkannya pada sahabat lelaki itu depan gerbang pesantren.
            ‘ Kak, depan musholah yah kita ketemunya?’ sebagian isi surat itu.
            Di hari yang di janjikan itu, ba’da shalat, tepat depan gerbang musholah,laki-laki itu menunggui Bidadari yang mengirimanya surat itu dan juga hadiah-hadiah sebelum itu. Laki-laki menanti dengan sabar sang bidadari. Cukup lama ia menanti. Karenanya, ia sampai menyandarkan wajahnya pada salahsatu sisi dari pagar musholah. Tiba-tiba, dari balik pintu, keluarlah jamaah perempuan. Ia melihat salahsatu sosok Bidadari yang telah lama ia nantikan. Dari balik pintu itu, Bidadari itu hanya tersenyum simpul memandang kepada wajah Laki-laki cerdas yang ada di balik pagar.
            ‘ Kamu sudah lama menunggu?’ kata Bidadari itu ketika baru saja tiba di hadapan lelaki itu.
‘ tidak selama seperti yang kamu maksud,’ jawab lelaki itu. ‘ malah saya  belum lama di sini.”
‘ oh, begitu yah? Kukira tadi kamu tidak akan hadir.’
‘ pasti saya akan hadir,’ kata Lelaki itu. ‘ untuk kamu, mana mungkin saya akan ingkari janji?’
‘ oh, begitu yah, kang Mas?’
‘ iya, ayuk kita tempat tujuan!’
 ‘ayuk, kita kesana.’
Mereka berdua lalu pergi bersama-sama ke tempat yang telah mereka janjikan sebelumnya. Tak seperti di film-film, mereka berjalan tidak dengan bergandeng tangan, hanya saja, ada jarak sejengkal yang memisahkan raga mereka. Dermaga. Termpat itulah yang mereka akan tuju. Sebuah tempat yang memanjakkan dengan tiupan angin yang sangat halus, memberikan rasa dingin namun suasananya menjadikan dingin itu sebagai latar yang sangat menjadikan romantis tempat itu. Di ujung Dermaga yang langsung berhadapan dengan derai dan hantaman ombak yang terpecah menghantam kayu-kayu angkuh penyangga dermaga, itulah tempat yang mereka tuju.
Lama keduanya tak bersuara. Baik lelaki itu maupun sang Bidadari yang sangat senang hatinya. Terdiam, dengan sejengkal ruang hampa udara yang menjadi pemisah mereka berdua.
‘ Kang,’ kata Bidadari itu memecah keheningan.
‘ ada apa?’ jawab lelaki.
‘ saya ingin tahu sesuatu hal, Kang.’ Katanya
‘ apa?’
‘ mmm....’
‘ apa?’
‘ bagaimana dengan hubungan kita ini, kang?’ tanya Bidadari itu.
Sang Lelaki dibuat kaget dengan pertanyaan itu. ‘ maksud Dinda?’
‘ hubungan yang kita jalani selama ini.’
Lelaki itu bingung, sejenak dia berpikir dan baru kemudian berani memberikan jawaban. ‘ kukira, saya menganggapmu sebagai seorang adik yang aku harus lindungi. Yang harus kuayomi’
‘ tapi kan...’ napas Bidadari itu sejenak tak beraturan. ‘ tapi, Kang sudah menunjukkan perhatian pada saya, terus apa maksudnya perhatian Kang dengan semua itu?’
‘ Dinda...’
‘ Kang mengerti tidak dengan perasaan saya?’
‘ tapi...’lanjut sang lelaki.
Bidadari itu membalasnya dengan diam. Kemudian memilih tak melanjutkan sepatah kata pun untuk lelaki itu. Dia mengerluarkan air mata. Makin deras keluarnya setiap hitungan detik.
‘ jangan begitu’
Bidadari itu malah semakin menjadi-jadi. Kemudian dia menatap mata sang lelaki. Juga, lelaki itu menatap tajam pada kedua bola mata Bidadari itu. Dan seketika suasana menjadi hening. Angin yang dingin begitu sangat terasa. Menyentuh lapisan dalam kulit sang lelaki. Pipinya begitu dibuat dingin olehnya. Sangat terasa dinginnya. Dan seketika... PLAAKKKKKK..... pipi sang Lelaki menjadi hangat dan memerah karena tamparan sang Bidadari. Tanpa sepatah kata pun, setelah tamparan itu, sang Bidadari lari meniggalkan sang Lelaki. Berlari sekencang-kencangnya menembus sunyi Dermaga itu. Berlari dengan sisa-sisa derai tangisnya. Tak perduli dengan apa yang menjadi lintasannya. Sang Lelaki hanya diam menyaksikan itu, tak bergerak, apalagi harus mengejar. Dia kemudian hanya bisa diam. Terpanah memandang Bidadari itu menembus gelapnya malam hingga berlalu dari pandangannya. Kemudian tertunduk diam tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya.
Lalu, untuk menghibur diri sang Lelaki itu memilih untuk duduk terdiam di bawah heningnya lantai bambu Pos Ronda....Yah, kurang lebih seperti itu apa yang saya tonton barusan di rumah.” Kata Alan menjelaskan panjang ceritanya pada anggota-anggota MABES yang mendengarkannya.

Tepat setelah cerita itu berakhir, di depan rombongan itu telah tampak Gode-gode yang mereka cari.

“ Alan!” kata Andy. “ pos ronda yang ada dalam sinetron itu terbuat dari bambu, yah?”

“ ah.... betul sekali.” Jawab Alan. Lalu melangkah kakinya dengan langkah cepat mendekati gode-gode yang mereka tuju. “ Pos dalam sinetron yang saya nonton itu mirip sekali dengan gode-gode ini.” Kata Alan dengan sangat yakin.

Semua mata terbelalak menyaksikan kata-kata pembenaran Alan ini. Setting tempat yang diceritakan Alan itu sangat mengherankan mereka.

“ tunggu dulu.” Kata Andi ketika semuanya sudah merapati gode-gode itu. “ saya tidak asing mendengar cerita dari Alan barusan.”

“ iya, saya juga demikian!” kata Phyton.

“ sepertinya kisah itu belum lama saya dengar dan rasanya hampir semua aspek dalam cerita itu mirip dengan apa yang saya dengar sebelumnya.” Curiga Andi.

“ sepertinya beberapa menit sebelumnya sudah ada yang menceritakan kisah itu pada kita, tapi sependengaran saya, hanya setting tempatnya saja yang berbeda. Masjid dan pesantren, jembatan dan dermaga, Gode-gode dan pos ronda. Kenapa semuanya begitu mirip? Lelaki cerdas dan Lelaki pemakai jacket besar.” Sambung Phyton.

Semuanya lalu menjadi diam. Mata mereka secara berjamaah, kompak, lalu tertuju pada satu sosok manusia berjacket besar, Caesar. Dan saat itu Caesar lalu tertunduk ke bawah melihat pada arah sepatunya. “ adoh, sepertinya sepatu saya kotor” katanya. Lalu beberapa saat mengelap kotor yang melekat pada sepatunya itu. Dan sejurus kemudian dia bangkit lagi dengan badan hampir tegap. Tapi tetap saja, mata-mata liar sekelilingnya masih memndang curiga padanya. “ he he... kenapa kalian masih melihat saya?” tanyanya. “ sekarang kita sudah lihat gode-gode yang saya sudah ceritakan. Kalau begitu, mari kita pulang!” ajak Caesar.

“ sabar!” kata Andi. Lalu memegang lengan Caesar. “ kenapa kisahmu mirip dengan cerita Alan?”

Suara gemuruh menyusul keluar dari mulut-mulut anggota lain. Menpertanyakan hal yang sama dengan pertanyaan Andi.

Caesar mengambil napas sedikit. “ saya juga tidak tahu,” jawabnya sedikit di buat santai. “ ini mungkin hanya kebetulan semata, namanya juga takdir. Tuhan bisa menakdirkan apa saja pada umatnya baik itu sama maupun tidak pada tiap manusia yang berbeda-beda.” Katanya lagi.

Semua mata langsung terpanah pada Caesar. Meskipun dalam terang yang remang-remang tapi nampak jelas Caesar menyadari itu. Untuk sesaat tak ada respon. Dan, kemudian, secara berjamaah dagu-dagu kesemuanya mengangguk ke atas dan ke bawah pertanda setuju pada Caesar.Betul juga, itu mungkin kebetulan, Tuhanlah yang mengatur semua kebetulan itu. Pikir kesemua mereka. Yah yah, kurang lebih seperti itu.

Caesar legah, merasa puas telah berhasil membuktikan apa yang dia ceritakan pada teman-temannya meskipun pada saat itu hanya gode-gode kosong yang mereka saksikan. Tak ada sama sekali yang hangat-hangat seperti Caesar maksudkan. Farlin juga sudah memeriksa gode-gode itu, telapak tangannya tidak merasai adanya kehangatan yang membekas. Semunya pulang dengan rasa puas meskipun ada beberapa dari mereka yang masih merasa tidak puas namun untuk kepuasan Caesar terpaksa mereka juga ikut-ikutan kelihatan puas.


***
Bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar