CAESAR
DAN SINETRON KCB
Di perjalanan, saat
suara gemuruh semangat mulai menghilang, dengan suara pijakan kaki yang sama
berirama, Andi menyempatkan diri bertanya kepada Alan. “ Alan, sebenarnya...
karena kamu, harga diri MABES agak sedikit menurun” keluh Andi pada Alan.
“ karena saya?” kata
Alan keheranan. “ kalau boleh tahu, apa yang telah saya perbuat hingga sampai
begitu?”
“ karena hobymu setelah shalat Isya itu.”
“ suka pulang ke rumah?”
“ bukan!”
“ terus?”
“ mmmm.... lebih dari itu.”
“ yang mana?” Alan mulai
bingung.
“ tentang hobimu nonton
sinetron itu.”
“ KCB maksudmu?”
“ iya, KETIKA CINTA
BERTASBIH.” Jelas Andi.
“ oh, yang itu! Caesar juga hoby setahu saya” jawab Alan dengan legah. “ kalau
menurutku itu tak mengapa.”
“ tak mengapa
bagaimana?” kata Andi. “ itu ‘kan hoby kebanyakan perempuan dan ibu-ibu rumah
tangga!”
“ selama saya masih bersikap selayaknya seorang
laki-laki ‘kan tak mengapa!”
“ iya, tapi ‘kan?” Alan
menghela napasnya. “ jadi begini, soal sinetron itu, kisahnya itu ‘kan tentang
kisah-kisah islamih. Jadi tidak seperti sinetron kebanyakan...lagi pula cerita
di dalamnya cukup heroik dan dramatis serta menguras emosi penonton ketika
menyaksikannya.” Kata Alan.
“ jalan ceritanya
berbeda dengan kisah-kisah sinetron lainnya?”
“ berbeda dengan banyak kelebihan.” tambah Alan, yakin.
“ oh, kalau begitu,
boleh yah kamu ceritakan sepenggal dari jalan cerita sintron KCB yang kamu
nonton ba’da isya tadi sebelum kamu datang ke Markas.”
“ boleh saja.” Kata
Alan.
Kepala Caesar seketika
berbalik pada kedua sosok itu, Andi dan Alan. “ jangan!” kata Caesar. “ kamu
tidak usah ceritakan, lagipula kita sudah dekat akan sampai ke gode-gode itu. “
“ masih lama
sepertinya.” ucap Andi.
“ iya, lagipula kalau
hanya cerita intinya saja, pasti sebelum gode-gode saya sudah selesaikan itu
cerita.” Kata Alan memberikan jawaban.
“ pokoknya jangan!”
Caesar sedikit memaksa.
“ kamu langsung cerita
saja, Alan!” kata Andi yang semakin penasaran.
Abang Phyton yang juga
mendengat percakapan itu, memalingkan wajahnya ke belakang menoleh pada sumber
kegaduhan itu. “ cerita saja, Alan! Apa susahnya?” kata Phyton dengan suara
lantang.
Dan, karena suaranya
yang lantang itu, keseluruhan yang lainnya langsung terfokus pada sumber
kegaduhan. Seketika suasana menjadi hening. Hanya suara langkah-langkah kaki
yang jelas terdengar. Dan Alan, langsung menyadari itu, bahwa saat itu,
ucapannya lah yang dinanti.
“ oke, saya akan
bercerita.” Kata Alan.
Mendengar itu, Caeasar
hanya melangkahkan kakinya beberapa jarak dari Alan, menjauhinya, menghindari
dalam perjalanan terganggu dengan cerita Alan.
“ jadi begini!” kata
Alan. “ ... Alan lalu bercerita, mencoba
mengisahkan apa saja yang ia saksikan dalam sinetron Ketika Citna Bertasbih.
Tepat setelah shalat isya, Alan seperti biasanya langsung pulang ke rumah untuk
menyaksikan sinetron yang menurutnya bagus dan layak untuk ditonton. Ketika
itu, pada saat Alan sedang mengatur posisi tinggi bantal untuk kenyamanannya
dalam menonton sinetron, di televisi, tampak salahsatu adegan yang cukup
menggetarkan hatinya.
Seorang
perempuan cantik bertemu seorang laki-laki cerdas berpengetahuan luas di depan
bangunan pesantren. Perempuan yang cantik bagai bidadari itu sangat tertarik
pada sosok laki-laki yang baru ditemuinya itu.
Bidadari
itu menyimpan rasa kagum pada laki-laki itu. Perhatiannya ia tujukan dengan
nampak pada laki-laki itu. Dan si laki-laki, dengan jiwa besar, menerima dengan
tangan terbuka perlakuan dan perhatian yang diberikan oleh si Bidadari.
Beberapa hari berlalu, dan tetap saja perhatian Bidadari itu pada sang
Laki-laki terus ia berikan. Kiriman-kiriman surat dan banyak suvenir terus ia
hadiahkan pada Laki-laki itu, begitu juga sebaliknya, setiap kali sang
laki-laki itu mendapat kiriman hadiah, barang atau surat ia juga selalu
membalas dengan melakukan hal yang sama. Ha ini berlangsung untuk beberapa lama
waktunya. Dan semakin sering dan intens dilakukan, Bidadari itu mulai merasa
adanya hubungan spesial antara mereka. Bidadari itu meyakini kalau-kalau sang
Laki-laki juga punya perasaan yang sama padanya seperti apa yang ia rasakan
pada laki-laki cerdas itu.
Hingga suatu saat, untuk mencoba
meyakinkan dugaannya itu, sang Bidadari lalu berinisiatif untuk bertatap muka
langsung secara empat mata dengan Laki-laki yang menjadi pujaan hatinya. Ia
hanya ingin memastikan rasa yang dirasakan sang Laki-laki itu sama dengan apa
yang ia rasakan. Keinginan untuk bertemu itu ia sampaikan pada laki-laki lewat
surat dengan menitipkannya pada sahabat lelaki itu depan gerbang pesantren.
‘ Kak, depan musholah yah kita
ketemunya?’ sebagian isi surat itu.
Di hari yang di janjikan itu, ba’da
shalat, tepat depan gerbang musholah,laki-laki itu menunggui Bidadari yang
mengirimanya surat itu dan juga hadiah-hadiah sebelum itu. Laki-laki menanti
dengan sabar sang bidadari. Cukup lama ia menanti. Karenanya, ia sampai
menyandarkan wajahnya pada salahsatu sisi dari pagar musholah. Tiba-tiba, dari
balik pintu, keluarlah jamaah perempuan. Ia melihat salahsatu sosok Bidadari
yang telah lama ia nantikan. Dari balik pintu itu, Bidadari itu hanya tersenyum
simpul memandang kepada wajah Laki-laki cerdas yang ada di balik pagar.
‘ Kamu sudah lama menunggu?’ kata
Bidadari itu ketika baru saja tiba di hadapan lelaki itu.
‘
tidak selama seperti yang kamu maksud,’ jawab lelaki itu. ‘ malah saya belum lama di sini.”
‘
oh, begitu yah? Kukira tadi kamu tidak akan hadir.’
‘
pasti saya akan hadir,’ kata Lelaki itu. ‘ untuk kamu, mana mungkin saya akan
ingkari janji?’
‘
oh, begitu yah, kang Mas?’
‘
iya, ayuk kita tempat tujuan!’
‘ayuk, kita kesana.’
Mereka
berdua lalu pergi bersama-sama ke tempat yang telah mereka janjikan sebelumnya.
Tak seperti di film-film, mereka berjalan tidak dengan bergandeng tangan, hanya
saja, ada jarak sejengkal yang memisahkan raga mereka. Dermaga. Termpat itulah
yang mereka akan tuju. Sebuah tempat yang memanjakkan dengan tiupan angin yang
sangat halus, memberikan rasa dingin namun suasananya menjadikan dingin itu
sebagai latar yang sangat menjadikan romantis tempat itu. Di ujung Dermaga yang
langsung berhadapan dengan derai dan hantaman ombak yang terpecah menghantam
kayu-kayu angkuh penyangga dermaga, itulah tempat yang mereka tuju.
Lama
keduanya tak bersuara. Baik lelaki itu maupun sang Bidadari yang sangat senang
hatinya. Terdiam, dengan sejengkal ruang hampa udara yang menjadi pemisah
mereka berdua.
‘
Kang,’ kata Bidadari itu memecah keheningan.
‘
ada apa?’ jawab lelaki.
‘
saya ingin tahu sesuatu hal, Kang.’ Katanya
‘
apa?’
‘
mmm....’
‘
apa?’
‘
bagaimana dengan hubungan kita ini, kang?’ tanya Bidadari itu.
Sang
Lelaki dibuat kaget dengan pertanyaan itu. ‘ maksud Dinda?’
‘
hubungan yang kita jalani selama ini.’
Lelaki
itu bingung, sejenak dia berpikir dan baru kemudian berani memberikan jawaban.
‘ kukira, saya menganggapmu sebagai seorang adik yang aku harus lindungi. Yang
harus kuayomi’
‘
tapi kan...’ napas Bidadari itu sejenak tak beraturan. ‘ tapi, Kang sudah
menunjukkan perhatian pada saya, terus apa maksudnya perhatian Kang dengan
semua itu?’
‘
Dinda...’
‘
Kang mengerti tidak dengan perasaan saya?’
‘
tapi...’lanjut sang lelaki.
Bidadari
itu membalasnya dengan diam. Kemudian memilih tak melanjutkan sepatah kata pun
untuk lelaki itu. Dia mengerluarkan air mata. Makin deras keluarnya setiap
hitungan detik.
‘
jangan begitu’
Bidadari
itu malah semakin menjadi-jadi. Kemudian dia menatap mata sang lelaki. Juga,
lelaki itu menatap tajam pada kedua bola mata Bidadari itu. Dan seketika
suasana menjadi hening. Angin yang dingin begitu sangat terasa. Menyentuh
lapisan dalam kulit sang lelaki. Pipinya begitu dibuat dingin olehnya. Sangat
terasa dinginnya. Dan seketika... PLAAKKKKKK..... pipi sang Lelaki menjadi
hangat dan memerah karena tamparan sang Bidadari. Tanpa sepatah kata pun,
setelah tamparan itu, sang Bidadari lari meniggalkan sang Lelaki. Berlari
sekencang-kencangnya menembus sunyi Dermaga itu. Berlari dengan sisa-sisa derai
tangisnya. Tak perduli dengan apa yang menjadi lintasannya. Sang Lelaki hanya
diam menyaksikan itu, tak bergerak, apalagi harus mengejar. Dia kemudian hanya
bisa diam. Terpanah memandang Bidadari itu menembus gelapnya malam hingga
berlalu dari pandangannya. Kemudian tertunduk diam tak sepatah kata pun keluar
dari mulutnya.
Lalu,
untuk menghibur diri sang Lelaki itu memilih untuk duduk terdiam di bawah
heningnya lantai bambu Pos Ronda....Yah,
kurang lebih seperti itu apa yang saya tonton barusan di rumah.” Kata Alan
menjelaskan panjang ceritanya pada anggota-anggota MABES yang mendengarkannya.
Tepat setelah cerita itu
berakhir, di depan rombongan itu telah tampak Gode-gode yang mereka cari.
“ Alan!” kata Andy. “
pos ronda yang ada dalam sinetron itu terbuat dari bambu, yah?”
“ ah.... betul sekali.”
Jawab Alan. Lalu melangkah kakinya dengan langkah cepat mendekati gode-gode
yang mereka tuju. “ Pos dalam sinetron yang saya nonton itu mirip sekali dengan
gode-gode ini.” Kata Alan dengan sangat yakin.
Semua mata terbelalak
menyaksikan kata-kata pembenaran Alan ini. Setting
tempat yang diceritakan Alan itu sangat mengherankan mereka.
“ tunggu dulu.” Kata
Andi ketika semuanya sudah merapati gode-gode itu. “ saya tidak asing mendengar
cerita dari Alan barusan.”
“ iya, saya juga
demikian!” kata Phyton.
“ sepertinya kisah itu
belum lama saya dengar dan rasanya hampir semua aspek dalam cerita itu mirip
dengan apa yang saya dengar sebelumnya.” Curiga Andi.
“ sepertinya beberapa
menit sebelumnya sudah ada yang menceritakan kisah itu pada kita, tapi
sependengaran saya, hanya setting tempatnya
saja yang berbeda. Masjid dan pesantren, jembatan dan dermaga, Gode-gode dan
pos ronda. Kenapa semuanya begitu mirip? Lelaki cerdas dan Lelaki pemakai
jacket besar.” Sambung Phyton.
Semuanya lalu menjadi
diam. Mata mereka secara berjamaah, kompak, lalu tertuju pada satu sosok
manusia berjacket besar, Caesar. Dan saat itu Caesar lalu tertunduk ke bawah
melihat pada arah sepatunya. “ adoh, sepertinya sepatu saya kotor” katanya.
Lalu beberapa saat mengelap kotor yang melekat pada sepatunya itu. Dan sejurus
kemudian dia bangkit lagi dengan badan hampir tegap. Tapi tetap saja, mata-mata
liar sekelilingnya masih memndang curiga padanya. “ he he... kenapa kalian
masih melihat saya?” tanyanya. “ sekarang kita sudah lihat gode-gode yang saya
sudah ceritakan. Kalau begitu, mari kita pulang!” ajak Caesar.
“ sabar!” kata Andi.
Lalu memegang lengan Caesar. “ kenapa kisahmu mirip dengan cerita Alan?”
Suara gemuruh menyusul
keluar dari mulut-mulut anggota lain. Menpertanyakan hal yang sama dengan
pertanyaan Andi.
Caesar mengambil napas
sedikit. “ saya juga tidak tahu,” jawabnya sedikit di buat santai. “ ini
mungkin hanya kebetulan semata, namanya juga takdir. Tuhan bisa menakdirkan apa
saja pada umatnya baik itu sama maupun tidak pada tiap manusia yang
berbeda-beda.” Katanya lagi.
Semua mata langsung
terpanah pada Caesar. Meskipun dalam terang yang remang-remang tapi nampak
jelas Caesar menyadari itu. Untuk sesaat tak ada respon. Dan, kemudian, secara
berjamaah dagu-dagu kesemuanya mengangguk ke atas dan ke bawah pertanda setuju
pada Caesar.Betul juga, itu mungkin
kebetulan, Tuhanlah yang mengatur semua kebetulan itu. Pikir kesemua
mereka. Yah yah, kurang lebih seperti
itu.
Caesar legah, merasa
puas telah berhasil membuktikan apa yang dia ceritakan pada teman-temannya
meskipun pada saat itu hanya gode-gode kosong yang mereka saksikan. Tak ada
sama sekali yang hangat-hangat seperti Caesar maksudkan. Farlin juga sudah
memeriksa gode-gode itu, telapak tangannya tidak merasai adanya kehangatan yang
membekas. Semunya pulang dengan rasa puas meskipun ada beberapa dari mereka
yang masih merasa tidak puas namun untuk kepuasan Caesar terpaksa mereka juga
ikut-ikutan kelihatan puas.
***
Bersambung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar