GU LAKUDO

GU LAKUDO
Masjid Agung Nurul Huda Gu-Lakudo

Selasa, 22 Januari 2013

CINTA CAESAR #4




CAESAR DAN SANG BIDADARI




_Ia ditakdirkan jadi kekuatan ankara murka yang mengawal dan melindungi kebaikan

Cinta adalah kata tanpa benda
Namun untuk beragam perasaan
Muara bagi ribuan makna
Wakil dari sebuah kekuatan tak terkira
Ia jelas, sejelas matahari
Mungkin sebab itu, Erick Rohm dalam “The Art of Loving” tidak tertarik atau juga tidak sanggup mendefinisikannya
Atau memang Cinta  sendiri yang tak perlu definisi bagi dirinya
Tapi juga terlalu rumit untuk disederhanakan
Tidak ada definisi memang
Dalam agama, atau filsafat, atau sastra, atau psikologi
Tapi inilah obrolan manusia sepanjang masa
Inilah legenda yang tak pernah selesai
Maka abadilah, maka abadilah Robiah Al-adawiah, Rumi, Ikbal, Tagore, atau Gibran karena puisi atau prosa cinta mereka
Abadilah legenda Romeo dan Juliet, Laila Majnun, Siti Nurbayah atau Cinderella, Abrillah Tajmahal karena kisah Cinta di balik kemegahannya
Cinta adalah lukisan abadi dalam kanvas kesadaran manusia
Lukisan, bukan definisi
Ia disentuh sebagai sebuah situasi manusiawi dengan detil-detil nuansa yang begitu rumit tapi dengan pengaruh yang terlalu dahsyat
Cinta merajut semua emosi manusia dalam berbagai peristiwa kehidupannya menjadi subling
Begitu agung tapi juga terlalu rumit
Perang, berubah jadi panorama kemanusiaan
Begitu Cinta menyentuh para pelakunya
Evolusi, tidak dikenal karena geloranya tapi karena cinta yang melahirkannya
Kekuasaan tambah lembut saat Cinta memasuki wilayah-wilayahnya
Bahkan penderitaan akibat kekecewaan kadang terasa manis karena cinta yang melatarinya
Seperti Ghibran yang kadang terasa menikmati sayap-sayap patahnya_



            Begitulah Caesar, dia terus berjalan dengan jiwanya yang terus menghayati setiap nalar dan ide-idenya mengenai seorang perempuan, sumber cinta baginya. Caesar, tidak meresa kecewa pada pembatalan janji yang sudah dibuatnya, sementara langkahnya masih tetap lurus mengarah kearah tujuan awalnya. Kembali ke Markas. Ini adalah liku-liku dunia romantisnya, baginya. Dan karena itu, apapun yang menjadi rintangan dia akan tetap melakukan pencariannya. Ingin menikmatinya setiap hembusan nafasnya. Menikmati rintangan itu setiap bagiannya. Seperti Gibran yang terus menerus menikmati sayap-sayap patahnya. Hanya tinggal tiga puluh meter lagi, pikirnya, sebelum akhirnya bisa tiba menuju  markas. Seharian, dan belum sekali pun saya menampakkan diriku di Markas itu. Dan, sebagai seorang yang memiliki jabatan di tempat itu, barangkali ketidakhadiran saya akan menjadi obrolan panjang bagi setiap anggotanya. Lagipula, kalaupun nanti muncul pertanyaan-pertanyaan yang menusuk dari mereka saya siap menjawabnya dengan lantang, dengan apa yang sudah saya lewati seharian ini. Pastilah akan di terima. Lagipula saya tahu persis jawaban apa yang akan saya berikan pada mereka. Sedikit fakta, namun dengan argument-argument pendukung akan sanggup mengantarkan saya pada retorika yang efektif.Hingga, hanya tinggal dua puluhan meter sekarang tempat tujuan itu. Wajah La Otde yang terduduk pada sudut terujung dari gode-gode itu terlihat jelas kali ini di matanya. Meskipun dalam kondisi malam. Sangat jelas terlihat Otde sedang tertawa-tawa kecil bersama Alan. Dan di belakang mereka, tampak yang lainnya sedang sibuk bermain kartu Domino. Dan juga yang sedang sibuk lainnya di tempat itu. Astaga. Ramai sekali malam ini di Markas, pikir Caesar. Lalu kemudian melanjutkan langkah demi langkahnya dengan wajah yang menunduk.

“ pucuk di sinta, wulan pun datang.” Kata Alan sambil menepuk bahu La Otde.

“ ada apa?”

“ coba kamu lihat samping jalan itu, di depan.” Sambil menunjuk pada arah seorang pria yang berjalan sedang menunduk.

Belum sempat berpaling pada arah yang ditunjukkan Alan. “ ha ha... bukan begitu!” ujar LaOtde. “Yang betul itu,  ‘ucap di cinta, Wulan pun datang’.” Baru kemudian berpaling mengikuti jari telunjuk Alan. Matanya terbelalak, kaget, meloncat dari atas gode-gode lalu bertumpu pada dinginnya aspal. Hentakan kakiknya dan teriakkannya juga mengagetkan seantero penghuni gode-gode. “ astaga, coba lihat! Yang menuju kemari, Itu siapa?”

Semua mata langsung tertuju pada Caesar. “ ini dia yang kita tunggu-tunggu sedari tadi.” Kata Farlin.

Sambil berjalan menunduk, menyadari hanya tinggal beberapa meter lagi mencapai markas, Caesar langsung memalingkan wajahnya ke arah depan. Matanya langsung menyebar pada setia sisi gode-gode. Mereka semua sedang mengamati saya, pikir Caesar. Hingga saat itu dia belum terpikirkan untuk memberikan jawaban jika salah satu pertanyaan terlontar dari salahasatu bibir anggota MABES yang lainnya. Kamu dari mana saja, Caesar? Misalnya. Dia lalu menghela napas ketika telah berhadapan langsung dengan La Otde selaku yang terdekat dengannya.
            
 “ Kamu dari mana saja, Caesar?” tanya La Otde.

“ iya, kamu dari mana saja?” susul yang lainnya.

Caesar tak menjawab. Benar saja, pertanyaan ini yang pertama akan terlontar. Seperti sedang mencari jawaban yang belum terpikirkan olehnya.

“ sebenarnya kamu darimana?” ulang La Otde.

“ sudahlah, palingan dia dari kamarnya nonton Sinetron.” Kata Andi.

Caesar masih terdiam. Untuk beberapa detik lamanya. Sementara belasan pasang mata masih tetap terjaga menatapnya dengan tajam. Tiba-tiba satu ide briliant melintas pada otaknya. Tangan kanannya tiba-tiba diangkatnya, menyodorkannya pada La Otde tepat menyentuh hidungnya. Seperti menyuruh La Otde untuk mencari tahu aroma apa di tangannya itu.

La Otde lalu menepis jari-jari tangan Caesar menyingkirkannya dari hadapannya. “ apa maksud?” tanya La Otde.

“ kamu cium dulu, ini aroma apa?” Lalu menyodorkan kembali tangannya kepada La Otde.

“ tidak ada aroma apa-apa. Hanya bau daki tanganmu yang saya kenali.”

“ ha ha...” Caesar hanya tertawa kecil. “ belum tahu dia.”

“ bau apa?” tanya lagi La Otde.

“ ini bau bagian tubuh manusia.”

“ tubuhmu?”

“ bukan.” Lalu tertawa lagi kecil-kecil seperti mengejek. Tangannya langsung di gerakkan seperti gerakan tangan Cristiano Ronaldo ketikaselebrasinya setelah mencetak gol.

La Otde hanya terdiam sesaat. “ tunggu tunggu tunggu,” katanya. “ jangan bilang...kalau itu aroma...?”

“ pokoknya sudah seperti yang kamu pikirkan.” Lalu mengangkat tangan kirinya, menyodorkan jari tengahnya tepat di bawah batang hidung La Otde. “ kamu juga tahu ini bau apa?” lalu melanjutkan tawa kecilnya. “ ha ha ha...”

“ tidak! Sama seperti sebelumnya. Hanya bau daki yang tertangkap indra penciumanku.”

“ coba, kamu pikirkan dulu baik-baik!” kemudian dia menaik-turunkan jari tengahnya itu dengan sangat cepat secepat yang dia bisa. “ masa kamu tidak tahu ini bau apa.”

“ saya tahu maksudmu?” jawab La Otde. Hanya saja saya tidak sampai percaya kalau itu adalah aroma seperti yang saya nonton dalam video-video.”

“ iya, saya juga tidak percaya!” seru Farlin  dari balik rombongan pemain domino.

“ coba langsung saja kamu katakan! Kamu sebenarnya dari mana? Tidak perlu kamu bohongi kami dengan tanganmu yang bau daki itu.” Kata La Otde menekan Caesar.

Caesar lalu terhenti dari tawa kecilnya. Menyadari semua mata yang juga mempertanyakan hal sama. “ oke oke oke. Saya akan jawab.” Lalu menarik napas sangat dalam. “ Jadi, setelah shalat magrib itu... pikirannya langsung menghunus tajam kebelakang. Tepat beberapa jam sebelumnya. Tepat setelah ia baru saja selesai mandi.Ketika itu Caesar menuju kamarnya, tak lupa ia mengganti pakainnya, dia memilih Jacket untuk di pakainya setelah itu. Jacket yang menutupi auratnya. Tak lupa, dia kemudian berdoa pada yang Maha kuasa untuk dipertemukan dengan seorang perempuan yang menyukai dan mencintai segenap hatinya. Mudah-mudahan keluar dari kamar ini, saya selalu mendapatkan hal-hal baik, katanya berdoa dalam hati. Sampai bunyi adzan sholat isya pun, dia masih tetap berdoa. Dan ketika dia menyadari akan suara adzan, secepatnya dia mengambil air wudhu lalu beranjak ke masjid. Memasuki gerbang masjid, dia terbayang akan satu sosok perempuan yang telah terikat janji dengan dia untuk bertemu tepat setelah shalat isya. Caesar tak fokus sama sekali dalam shalatnya karena memikirkan janji itu. Sampai saat yang dia nanti-nantikan, usainya sholat isya. Dia langsung keluar masjid. Berdiri tepat di depan gerbang masjid. Wajahnya bersandar pada sudut salah satu pagar. Mengamati, kapan perempuan yang ia nantikan akan keluar dari masjid. Cukup lama dia menanti di situ. Sampai, sesosok wanita dengan mokenah putih yang wajahnya tak asing olehnya keluar pada salahsatu pintu masjid. Betapa legahnya Caesar menyaksikan pemandangan itu, seperti dia sedang memandangi bidadari yang keluar dari peraduannya. ‘ kamu sudah lama menanti?’ kata bidadari itu. ‘ tidak, saya juga baru saja tiba di sini.’ Jawab Caesar. ‘ tadinya saya kira kamu tidak akan muncul.’ Kata bidadari itu. ‘ yang benar saja, untuk kamu, mana mungkin saya ingkari janji.’ Kata Caesar. Lalu perempuan itu tersenyum tipis. ‘ ayo, kita jalan!’ ajak Caesar. ‘ ayuk,’ terima bidadari itu. Lalu mereka berjalan bersama-sama memutar dari arah depan menghindari untuk lewat di depan markas MABES. Jangan sampai anak-anak MABES cemburu, pikir Caesar.
Di Jembatan, mereka duduk di ujung, merenungi setiap belaian anging. Tak dihiraukannya oleh mereka remaja-remaja Gu Lakudo yang juga berlalu-lalang di tempat itu. Di Ujung jembatan, ketika suasana makin hening, Bidadari itu bergeser mendekati Caesar. ‘ saya ingin tanya sesuatu pada kamu!” kataBidadari itu sedikit berbisik. ‘ boleh. Kamu ingin bertanya apa?’ balas Caesar. ‘ emmm....bagaimana dengan hubungan kita?’ tanya lagi si Bidadari. ‘ hubungan?’ jawab Caesar. ‘ iya, hubungan kita.’ Bidadari itu memperjelas. ‘ kukira kamu sudah kuaggap adikku sendiri, hubungan kita tidak lebih dari itu!’ jawab Caesar. ‘ Kang!’ seru bidadari itu. ‘ bagaimana kamu bisa menjawab seperti itu setelah apa yang kita jalani sejauh ini.’ Bidadari itu bertanya sambil mengeluarkan beberapa tetes air matanya. Bahunya mulai mendadak naik turun, pertanda bidadari itu sedang menahan ledak tangisnya. ‘ kamu menangis?’ tanya Caesar. ‘ tidak!’ jawab Bidadari itu. ‘ ku kira kau menangis. Selama ini saya hanya melindungi kehormatanmu. Hanya itu, tidak lebih! Kamu tahu kan, kita bukan muhrim!’jawab Caesar. ‘Tapi, kang...’ kata bidadari itu. ‘ sudahlah, nanti juga kamu akan temukan lelaki yang lebih baik dari saya.’ Nasehat Caesar. Bahu bidadari itu benar-benar bergetar, tak tertahankan lagi tangisnya. Dia merintih, memukul-mukul lengan Caesar lalu memohon-mohon dengan derai tangisnya. ‘ kamu kenapa?’ tanya Caesar sambil menepis pukulan-pukulan halus yang menghunus rapi  ke arahnya berusaha mengendalikan gerakan-gerakan bidadari itu agar tenang. ‘ saya tidak bisa terima, kang! Kenapa baru sekarang kamu katakan itu pada saya?’ bidadari itu setengah marah lalu bangkat berdiri menatap tajam pada Caesar. ‘ kamu tidak perlu marah begitu!’ ucap Caesar sambil menatap wajah bidadari itu. Bidadari itu hanya terdiam sambil menatap mata Caesar dengan sangat tajam. Lama sekali mereka bertatapan. Angin laut malam saat itu menusuk dingin pada pipi Caesar. Sangat dingin pipi Caesar jika dalam suasana seperti itu. Dan, seketika, Plaakkkkk... suaranya keras terdengar. Seketika pipi Caesar menjadi terasa hangat dan lalu memerah. Bidadari itu baru saja menampar pipi Caesar. Dalam sekejap Bidadari itu berlalu dari pandangan Caesar. Dia berlalu sekencang yang dia mampu, berlalu dalam kegelapan disertai derai tangisnya yang begitu piluh. Caesar hanya bisa terdiam sambil memandangi kepergian bidadari itu. Kamu jangan pergi, harap Caesar. Caesar tidak sama sekali mengejarnya. Dia sadar telah memberi harapan cinta pada Bidadari dan membuatnya kecewa. Bidadari itu semakin jauh berlalu dan kemudian benar-benar hilang dalam pandangnnya. Caesar masih saja terdiam. Tak terucap satu kata pun dari bibirnya.
Di gode-gode, sepulangnya dia dari jembatan, Caesar duduk termenung seorang diri memikirkan bidadari yang berlalu dengan derai tangisnya. Dia terdiam sambil memandangi gode-gode ‘La Rou’ yang tertata rapi di depannya. Dia berbaring sambil melamun. Hingga, karena terlalu dalamnya dan tenangnya perenungannya, Caesar lalu tertidur dibuatnya. Caesar terlelap di tempat itu untuk sesaat. Hanya sesaat. Karena tak berapa lama dia terbangun dari tidurnya setelah sentuhan jemari tangan membangunkannya. Caesar bangkit dari posisi baringnya. Mengocok-mengocok matanya yang belum jelas betul dalam melihat. Dan, setelah penglihatannya jelas, tampak di hadapannya sesosok bidadari dengan mata masih bengkak karena tangisnya sebelumnya berdiri tertunduk di hadapannya. ‘ dari mana kamu tahu saya di sini?’ tanya Caesar. ‘ saya tidak rela meninggalkan kamu berdiri sendiri di ujung jembatan. Apalagi teman-temanmu dari Mabes tidak ada di tempat itu ketika kau di sana.’ Jawab bidadari itu. ‘ kalau begitu, saya minta maaf pada kamu.’ Kata Caesar. ‘ Kang!’ suara bidadari itu. ‘ Kang tidak perlu minta maaf pada saya, justru harusnya saya yang meminta maaf pada Kang.’ Kata Bidadari itu. ‘ sudahlah, lagipula saya telah salah memberikanmu harapan untuk sebuah cinta.’ Jawab Caesar. ‘tapi, kan...’suara kecil dari bidadari itu. ‘ tidak ada tapi-tapi, saya yang minta maaf!’ tegas Caesar. ‘tapi saya sudah menampar wajah Kang. Tidak sepantasnya saya melakukan itu pada orang yang sudah meninggikan saya seperti selayaknya seorang Bidadari.’ Jawab Bidadari itu. ‘ sudahlah! Saya menikmati tamparan itu, sangat halus dan bermakna.’ Jawab Caesar. Lalu setelah itu mereka saling tertawa kecil. Dan dunia seketika menjadi selebar daun kelor.... yah, kurang lebih seperti itu.” Kata Caesar.

La Otde, Andi, dan anggota-anggota lainnya di tempat itu hanya bisa terperangah mendengar jawaban dari kisah Caesar ini. Mereka benar-benar terngangah seperti baru saja disuguhkan kisah kompleks tentang dua anak manusia seperti dalam kisah Rabiah Al-Adawiah yang termahsyur itu. Hanya beberapa dari anggota-anggota MABES sajalah yang tidak terpesona dengan kisah Caesar yang baru saja dia kisahkan. Alan, Farlin, Abang Phyton, dan Laade, mereka yang tidak sama sekali terpesona.

“ apakah betul yang baru saja kamu kisahkan itu, Caesar?” tanya Andi. “ jika seandainya betul, saya benar memberikan jempol padamu. Kisahmu yang barusan jauh lebih masuk akal dari banyak kisah yang pernah kamu ceritakan pada saya sebelumnya. Lebih meyakinkan dari kisah kamu mendadak menjadi tukang listrik seperti yang kamu ceritakan tempo hari.”

“ itu betul.” Jawab Caesar lalu menunjuk pada salahsatu sudut pagar Masjid besar. “ di sana! Tepat di sana saya menunggu bidadari itu keluar dari masjid.”

“ hm, lalu, kenapa kamu tidak melintas saja di depan markas MABES? Biar kami bisa melihat bidadari yang kamu maksudkan?” Tanya lagi Andi.

“ tidak bisa, kalau demikian, kalian akan cemburu pada saya, dan tentunya akan irih pada saya.” Jawab tenang Caesar sambil tersenyum. “ makanya itu, untuk kejembatan setelah shalat isya, saya lebih memilih memutar dari arah sana ketimbang harus melintas depan ini.”

“ kamu benar berada di ujung jembatan?” tanya Andi pada Caesar.
            
 “ yah, tentu saja saya tepat berada di ujung jembatan.” Dengan santainya menjawab.

Andi berpikir sejenak. “ apa kamu lihat Farlin dan Laade beserta Abang Phyton di jembatan?” tanya Andi.

Caesar diam untuk sesaat. Tak bersuara, juga tak bergerak. Bibirnya sedikit terhenti mendengar pertanyaan itu. Tapi pikirannya menganggap itu bukan masalah. “ waktu itu gelap, dan orang ramai sekali,” katanya. “makanya itu saya tidak tahu sama sekali wajah-wajah orang yang ada di tempat itu.”

Mata Farlin menatap tajam pada Laade dan Abang Phyton. Tepat lurus ke arah keduanya. Begitu pun Abang Phyton, matanya juga secara bergantian menatap Laade dan Farlin. “ kami bertiga tadi juga ada di jembatan, juga berhenti di ujung jembatan. Tapi saya tidak lihat Caesar ada di situ.” Kata Abang Phyton lalu menatap tajam kepada Caesar.

“ iya, saya juga tidak!” kata Laade.

“ ada saya, saya mungkin belakangi kalian waktu itu.” Jawab Caesar.

“ mungkin,” kata Farlin. “ waktu di jembatan tadi kamu melihat seorang laki-laki memakai jacket sedang duduk bersama seorang perempuan.” Lanjut Farlin.

Caesar lalu meninggikan dagunya. “ah... yang kalian lihat itu sudah saya!” katanya. “ dia memakai jacket besar, ‘kan?”

“ sepertinya. Agak keputih-putihan.” Jawab Farlin.

“ cocok, itu pasti saya!”

“ saya juga lihat orang yang memakai jacket itu,” kata Abang Phyton. “ tapi bukan di ujung jembatan.” Katanya.

“ itu pasti saya!” lalu menarik napas dalam-dalam. “ saya salah bercerita tadi. Maksud saya bukan di ujung jembatan, tapi di pertengahan jembatan, mendekati ujung.” Kata Caesar.

Abang Phyton hanya terdiam. Memiringkan kepalanya sedikit ke bahu kanannya sambil tetap menatap Caesar. “ betul yang kamu bicarakan itu?”

“ betul sekali!” kata Caesar. “ saya pakai pakaian seperti ini waktu di jembatan tadi itu.”

Laade lalu mendekati Caesar. Lirih berkata. “ saya juga, saya juga lihat orang yang memakai jacket besar.” Katanya dengan yakin. “ hanya saja, orang itu celananya tidak tergantung seperti celanamu sekarang, orang itu memakai celananya sampai menyentuh sendalnya.” Lalu menunjuk pada celana Caesar sekarang yang dipakai menggantung kerena style Caesar menggulung sebagian celananya keatas perut.

Caesar kaget mendengar ucapan Laade. “ oh,” jawabnya singkat. “ kalian semua kan tahu kalau kita ketemu perempuan harus rapi, makanya tadi itu saya turunkan lipatan celanaku sampai menyentuh sendal. Supaya bidadari itu tidak rikuh dengan penampilanku”

“ ha ha...” Laade tertawa.

Di susul kemudian tawa dari anggota yang lainnya. “ saya curiga.” Kata Laade. “ saya lihat, sepertinya sedari tadi kamu berbohong.”

“ saya tidak bohong!” Caesar membela diri. “ saya tadi turunkan lipatan celanaku sampai menyentuh sandal karena saya jaga imej pada Bidadari itu.”

“ saya juga mulai tidak percaya.” Kata Andi.

“ apa dasar kalian?”

Sambil menunjuk celana Caesar, Laade lalu memalingkan pandangannya pada alas kaki Caesar. “ kamu bilang tadi itu menggulung celana sampai menyentuh sendal, iya ‘kan?” katanya pada Caesar.

“ iya betul!”

“ terus ini apa?” tanya Laade sambil mengelus-ngelus sepatu Caesar. “ ini sepatu!”

Farlin dan Andi hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala mereka berdua. Mungkin betul curiga Laade.

“ tunggu!” kata Caesar. “ kenapa bisa saya pakai sepatu sekarang?”

“ karena yang di jembatan itu bukan kamu.” Jawab Laade.

“ potong leherku kalau yang kalian lihat itu bukan saya!”
  Ucap Caesar.

“ serius, mau di potong?” kata Laade. Matanya tajam memandangi Caesar. Sementara tangannya siap mencengkram.

“ jangan! Tidak jadi.” Sambil mencoba menepis tangan Laade yang mengarah pada lehernya.

“ kamu jawab yang serius!” desak Andi. “ yang di jembatan itu sebenarnya kamu atau bukan?” kemudian disusul oleh tatapan dari orang-orang lainnya yang sedari tadi menguping sambil membanting kartu-kartu domino mereka pada papan tripleks. Dan seketika, Caesar menjadi terpojok.

Caesar tidak menjawab. Ia hanya berpaling kembali pada Laade menghindarkan wajahnya dari tatapan Andi. “ Laade!” katanya. “ masa kamu tidak sedikit pun percaya dengan saya?” lalu, dengan sedikit nada keraguan, serangkai kalimat yang berbau tanda tanya pun keluar dari ucapnya. Kata yang tegas namun meragukan. “ kalau kamu dan yang lainnya tidak percaya sama saya,” matanya lalu melihat tajam sekelilingnya pada pandangan-pandangan yang memaksanya. “ sini kita sama-sama pergi di gode-godenya La Rou, kita lihat bekas tempat dudukku dengan bidadari itu masih hangat dan masih panas.”

“ tidak mungkin, sudah cukup lama kita di sini, hangatnya pasti sudah termakan dinginnya malam.” Potong Farlin.

“ iya, sepertinya tidak mungkin.” Kata Alan yang juga sedari tadi mengamati dengan seksama kisah Caesar yang dinilainya bernilai fiktif belaka.

“ ayo, kita kesana sekarang!” ajak Laade. “ barangkali masih ada tanda bukti yang lain yang bisa buktikan kisah Caesar di gode-gode itu.” Lalu menarik secepat kilat lengan Caesar.

Caesar menepis pegangan Laade. “ sabar!” katanya. kemudian berpikir sejenak.

“ tunggu apalagi?” paksa Laade. Lalu kembali menarik lengan Caesar.

“ tunggu,” menepis kesekian kalinya.

“ ayo!”

“ tunggu!”

“ ayo!”

“ tunggu,”

Terjadi tarik ulur yang cukup lama antara Caesar dan Laade. Sementara yang lainnya sibuk menyaksikan keduanya.

“ kita pergi lihat gode-gode itu tanpa Caesar!” kata Abang Phyton memberi solusi.
            
 Laade berhenti sejenak menarik-narik Caesar. Seketika lalu tuntas berpikir. “ Ayo kita pergi!” matanya lalu memandang Caesar. “ kamu tunggu saja di sini.” Perintahnya pada Caesar.

Seketika, semua pemain domino yang melantai pada papan tripleks meluber keluar dari gode-gode, bubar dari permainan mereka untuk kemudian mengikuti saran dari Abang Phyton menunjau lokasi yang menurut versi Caesar baru saja dia datangi dan bercumbu dengan seorang bidadari di tempat itu. “ ayo, kita ke gode-godenya La Rou sekarang!” teriak salahseorang dari mereka. Semuanya lalu memakai sendalnya masing-masing. Berduyun-duyun meninjau TKP. Ingin melihat secara langsung bagaimana lokasi tempat dan latar yang digunakan oleh Caesar tersebut. Semuanya, tanpa terkecuali telah siap tancap gas.

“ kamu bagaiamana, Caesar, mau ikut kami atau tidak?” ajak Laade kesekian kalinya.

Caesar hanya tunduk gemetar melihat ulah anggota-anggota yang di pimpinnya itu. Terdiam sejenak. “ OKE, saya juga ikut.”

 Seketika semua menjadi hikmah. Seperti para buruh yang akan cuti, mereka bersama-sama menuju TKP yang dimaksud dengan bahagianya, tidak terkecali Alan. Markas MABES pun menjadi kosong sejenak karena di tinggal sementara semua pencintanya.

***
Bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar