CAESAR
DAN SANG BIDADARI
_Ia ditakdirkan jadi
kekuatan ankara murka yang mengawal dan melindungi kebaikan
Cinta adalah kata tanpa
benda
Namun untuk beragam
perasaan
Muara bagi ribuan makna
Wakil dari sebuah
kekuatan tak terkira
Ia jelas, sejelas
matahari
Mungkin sebab itu, Erick
Rohm dalam “The Art of Loving” tidak tertarik atau juga tidak sanggup
mendefinisikannya
Atau memang Cinta sendiri yang tak perlu definisi bagi dirinya
Tapi juga terlalu rumit
untuk disederhanakan
Tidak ada definisi
memang
Dalam agama, atau
filsafat, atau sastra, atau psikologi
Tapi inilah obrolan
manusia sepanjang masa
Inilah legenda yang tak
pernah selesai
Maka abadilah, maka
abadilah Robiah Al-adawiah, Rumi, Ikbal, Tagore, atau Gibran karena puisi atau
prosa cinta mereka
Abadilah legenda Romeo
dan Juliet, Laila Majnun, Siti Nurbayah atau Cinderella, Abrillah Tajmahal
karena kisah Cinta di balik kemegahannya
Cinta adalah lukisan
abadi dalam kanvas kesadaran manusia
Lukisan, bukan definisi
Ia disentuh sebagai
sebuah situasi manusiawi dengan detil-detil nuansa yang begitu rumit tapi
dengan pengaruh yang terlalu dahsyat
Cinta merajut semua
emosi manusia dalam berbagai peristiwa kehidupannya menjadi subling
Begitu agung tapi juga
terlalu rumit
Perang, berubah jadi
panorama kemanusiaan
Begitu Cinta menyentuh para
pelakunya
Evolusi, tidak dikenal
karena geloranya tapi karena cinta yang melahirkannya
Kekuasaan tambah lembut
saat Cinta memasuki wilayah-wilayahnya
Bahkan penderitaan
akibat kekecewaan kadang terasa manis karena cinta yang melatarinya
Seperti Ghibran yang
kadang terasa menikmati sayap-sayap patahnya_
Begitulah
Caesar, dia terus berjalan dengan jiwanya yang terus menghayati setiap nalar
dan ide-idenya mengenai seorang perempuan, sumber cinta baginya. Caesar, tidak
meresa kecewa pada pembatalan janji yang sudah dibuatnya, sementara langkahnya
masih tetap lurus mengarah kearah tujuan awalnya. Kembali ke Markas. Ini adalah
liku-liku dunia romantisnya, baginya. Dan karena itu, apapun yang menjadi
rintangan dia akan tetap melakukan pencariannya. Ingin menikmatinya setiap
hembusan nafasnya. Menikmati rintangan itu setiap bagiannya. Seperti Gibran
yang terus menerus menikmati sayap-sayap patahnya. Hanya tinggal tiga puluh
meter lagi, pikirnya, sebelum akhirnya bisa tiba menuju markas. Seharian,
dan belum sekali pun saya menampakkan diriku di Markas itu. Dan, sebagai
seorang yang memiliki jabatan di tempat itu, barangkali ketidakhadiran saya
akan menjadi obrolan panjang bagi setiap anggotanya. Lagipula, kalaupun nanti
muncul pertanyaan-pertanyaan yang menusuk dari mereka saya siap menjawabnya
dengan lantang, dengan apa yang sudah saya lewati seharian ini. Pastilah akan
di terima. Lagipula saya tahu persis jawaban apa yang akan saya berikan pada
mereka. Sedikit fakta, namun dengan argument-argument pendukung akan sanggup
mengantarkan saya pada retorika yang efektif.Hingga, hanya tinggal dua
puluhan meter sekarang tempat tujuan itu. Wajah La Otde yang terduduk pada
sudut terujung dari gode-gode itu terlihat jelas kali ini di matanya. Meskipun
dalam kondisi malam. Sangat jelas terlihat Otde sedang tertawa-tawa kecil bersama
Alan. Dan di belakang mereka, tampak yang lainnya sedang sibuk bermain kartu Domino. Dan juga yang sedang sibuk
lainnya di tempat itu. Astaga. Ramai sekali malam ini di Markas, pikir Caesar.
Lalu kemudian melanjutkan langkah demi langkahnya dengan wajah yang menunduk.
“ pucuk di sinta, wulan
pun datang.” Kata Alan sambil menepuk bahu La Otde.
“ ada apa?”
“ coba kamu lihat
samping jalan itu, di depan.” Sambil menunjuk pada arah seorang pria yang
berjalan sedang menunduk.
Belum sempat berpaling
pada arah yang ditunjukkan Alan. “ ha ha... bukan begitu!” ujar LaOtde. “Yang
betul itu, ‘ucap di cinta, Wulan pun
datang’.” Baru kemudian berpaling mengikuti jari telunjuk Alan. Matanya
terbelalak, kaget, meloncat dari atas gode-gode lalu bertumpu pada dinginnya
aspal. Hentakan kakiknya dan teriakkannya juga mengagetkan seantero penghuni
gode-gode. “ astaga, coba lihat! Yang menuju kemari, Itu siapa?”
Semua mata langsung
tertuju pada Caesar. “ ini dia yang kita tunggu-tunggu sedari tadi.” Kata
Farlin.
Sambil berjalan
menunduk, menyadari hanya tinggal beberapa meter lagi mencapai markas, Caesar
langsung memalingkan wajahnya ke arah depan. Matanya langsung menyebar pada
setia sisi gode-gode. Mereka semua sedang mengamati saya, pikir Caesar. Hingga
saat itu dia belum terpikirkan untuk memberikan jawaban jika salah satu
pertanyaan terlontar dari salahasatu bibir anggota MABES yang lainnya. Kamu dari mana saja, Caesar? Misalnya.
Dia lalu menghela napas ketika telah berhadapan langsung dengan La Otde selaku
yang terdekat dengannya.
“ Kamu dari mana saja,
Caesar?” tanya La Otde.
“ iya, kamu dari mana
saja?” susul yang lainnya.
Caesar tak menjawab. Benar saja, pertanyaan ini yang pertama akan
terlontar. Seperti sedang mencari jawaban yang belum terpikirkan olehnya.
“ sebenarnya kamu
darimana?” ulang La Otde.
“ sudahlah, palingan dia
dari kamarnya nonton Sinetron.” Kata Andi.
Caesar masih terdiam.
Untuk beberapa detik lamanya. Sementara belasan pasang mata masih tetap terjaga
menatapnya dengan tajam. Tiba-tiba satu ide briliant melintas pada otaknya.
Tangan kanannya tiba-tiba diangkatnya, menyodorkannya pada La Otde tepat
menyentuh hidungnya. Seperti menyuruh La Otde untuk mencari tahu aroma apa di
tangannya itu.
La Otde lalu menepis
jari-jari tangan Caesar menyingkirkannya dari hadapannya. “ apa maksud?” tanya
La Otde.
“ kamu cium dulu, ini
aroma apa?” Lalu menyodorkan kembali tangannya kepada La Otde.
“ tidak ada aroma
apa-apa. Hanya bau daki tanganmu yang saya kenali.”
“ ha ha...” Caesar hanya
tertawa kecil. “ belum tahu dia.”
“ bau apa?” tanya lagi
La Otde.
“ ini bau bagian tubuh
manusia.”
“ tubuhmu?”
“ bukan.” Lalu tertawa
lagi kecil-kecil seperti mengejek. Tangannya langsung di gerakkan seperti
gerakan tangan Cristiano Ronaldo ketikaselebrasinya
setelah mencetak gol.
La Otde hanya terdiam
sesaat. “ tunggu tunggu tunggu,” katanya. “ jangan bilang...kalau itu
aroma...?”
“ pokoknya sudah seperti
yang kamu pikirkan.” Lalu mengangkat tangan kirinya, menyodorkan jari tengahnya
tepat di bawah batang hidung La Otde. “ kamu juga tahu ini bau apa?” lalu
melanjutkan tawa kecilnya. “ ha ha ha...”
“ tidak! Sama seperti
sebelumnya. Hanya bau daki yang tertangkap indra penciumanku.”
“ coba, kamu pikirkan
dulu baik-baik!” kemudian dia menaik-turunkan jari tengahnya itu dengan sangat
cepat secepat yang dia bisa. “ masa kamu tidak tahu ini bau apa.”
“ saya tahu maksudmu?”
jawab La Otde. Hanya saja saya tidak sampai percaya kalau itu adalah aroma
seperti yang saya nonton dalam video-video.”
“ iya, saya juga tidak
percaya!” seru Farlin dari balik
rombongan pemain domino.
“ coba langsung saja
kamu katakan! Kamu sebenarnya dari mana? Tidak perlu kamu bohongi kami dengan
tanganmu yang bau daki itu.” Kata La Otde menekan Caesar.
Caesar lalu terhenti
dari tawa kecilnya. Menyadari semua mata yang juga mempertanyakan hal sama. “
oke oke oke. Saya akan jawab.” Lalu menarik napas sangat dalam. “ Jadi, setelah
shalat magrib itu... pikirannya langsung
menghunus tajam kebelakang. Tepat beberapa jam sebelumnya. Tepat setelah ia
baru saja selesai mandi.Ketika itu Caesar menuju kamarnya, tak lupa ia
mengganti pakainnya, dia memilih Jacket untuk di pakainya setelah itu. Jacket
yang menutupi auratnya. Tak lupa, dia kemudian berdoa pada yang Maha kuasa
untuk dipertemukan dengan seorang perempuan yang menyukai dan mencintai segenap
hatinya. Mudah-mudahan keluar dari kamar ini, saya selalu mendapatkan hal-hal
baik, katanya berdoa dalam hati. Sampai bunyi adzan sholat isya pun, dia masih
tetap berdoa. Dan ketika dia menyadari akan suara adzan, secepatnya dia
mengambil air wudhu lalu beranjak ke masjid. Memasuki gerbang masjid, dia
terbayang akan satu sosok perempuan yang telah terikat janji dengan dia untuk
bertemu tepat setelah shalat isya. Caesar tak fokus sama sekali dalam shalatnya
karena memikirkan janji itu. Sampai saat yang dia nanti-nantikan, usainya
sholat isya. Dia langsung keluar masjid. Berdiri tepat di depan gerbang masjid.
Wajahnya bersandar pada sudut salah satu pagar. Mengamati, kapan perempuan yang
ia nantikan akan keluar dari masjid. Cukup lama dia menanti di situ. Sampai,
sesosok wanita dengan mokenah putih yang wajahnya tak asing olehnya keluar pada
salahsatu pintu masjid. Betapa legahnya Caesar menyaksikan pemandangan itu,
seperti dia sedang memandangi bidadari yang keluar dari peraduannya. ‘ kamu
sudah lama menanti?’ kata bidadari itu. ‘ tidak, saya juga baru saja tiba di
sini.’ Jawab Caesar. ‘ tadinya saya kira kamu tidak akan muncul.’ Kata bidadari
itu. ‘ yang benar saja, untuk kamu, mana mungkin saya ingkari janji.’ Kata
Caesar. Lalu perempuan itu tersenyum tipis. ‘ ayo, kita jalan!’ ajak Caesar. ‘
ayuk,’ terima bidadari itu. Lalu mereka berjalan bersama-sama memutar dari arah
depan menghindari untuk lewat di depan markas MABES. Jangan sampai anak-anak
MABES cemburu, pikir Caesar.
Di
Jembatan, mereka duduk di ujung, merenungi setiap belaian anging. Tak
dihiraukannya oleh mereka remaja-remaja Gu Lakudo yang juga berlalu-lalang di
tempat itu. Di Ujung jembatan, ketika suasana makin hening, Bidadari itu
bergeser mendekati Caesar. ‘ saya ingin tanya sesuatu pada kamu!” kataBidadari
itu sedikit berbisik. ‘ boleh. Kamu ingin bertanya apa?’ balas Caesar. ‘
emmm....bagaimana dengan hubungan kita?’ tanya lagi si Bidadari. ‘ hubungan?’
jawab Caesar. ‘ iya, hubungan kita.’ Bidadari itu memperjelas. ‘ kukira kamu
sudah kuaggap adikku sendiri, hubungan kita tidak lebih dari itu!’ jawab
Caesar. ‘ Kang!’ seru bidadari itu. ‘ bagaimana kamu bisa menjawab seperti itu
setelah apa yang kita jalani sejauh ini.’ Bidadari itu bertanya sambil
mengeluarkan beberapa tetes air matanya. Bahunya mulai mendadak naik turun,
pertanda bidadari itu sedang menahan ledak tangisnya. ‘ kamu menangis?’ tanya
Caesar. ‘ tidak!’ jawab Bidadari itu. ‘ ku kira kau menangis. Selama ini saya
hanya melindungi kehormatanmu. Hanya itu, tidak lebih! Kamu tahu kan, kita
bukan muhrim!’jawab Caesar. ‘Tapi, kang...’ kata bidadari itu. ‘ sudahlah,
nanti juga kamu akan temukan lelaki yang lebih baik dari saya.’ Nasehat Caesar.
Bahu bidadari itu benar-benar bergetar, tak tertahankan lagi tangisnya. Dia
merintih, memukul-mukul lengan Caesar lalu memohon-mohon dengan derai
tangisnya. ‘ kamu kenapa?’ tanya Caesar sambil menepis pukulan-pukulan halus
yang menghunus rapi ke arahnya berusaha
mengendalikan gerakan-gerakan bidadari itu agar tenang. ‘ saya tidak bisa
terima, kang! Kenapa baru sekarang kamu katakan itu pada saya?’ bidadari itu
setengah marah lalu bangkat berdiri menatap tajam pada Caesar. ‘ kamu tidak
perlu marah begitu!’ ucap Caesar sambil menatap wajah bidadari itu. Bidadari
itu hanya terdiam sambil menatap mata Caesar dengan sangat tajam. Lama sekali
mereka bertatapan. Angin laut malam saat itu menusuk dingin pada pipi Caesar.
Sangat dingin pipi Caesar jika dalam suasana seperti itu. Dan, seketika,
Plaakkkkk... suaranya keras terdengar. Seketika pipi Caesar menjadi terasa
hangat dan lalu memerah. Bidadari itu baru saja menampar pipi Caesar. Dalam
sekejap Bidadari itu berlalu dari pandangan Caesar. Dia berlalu sekencang yang
dia mampu, berlalu dalam kegelapan disertai derai tangisnya yang begitu piluh.
Caesar hanya bisa terdiam sambil memandangi kepergian bidadari itu. Kamu jangan
pergi, harap Caesar. Caesar tidak sama sekali mengejarnya. Dia sadar telah
memberi harapan cinta pada Bidadari dan membuatnya kecewa. Bidadari itu semakin
jauh berlalu dan kemudian benar-benar hilang dalam pandangnnya. Caesar masih
saja terdiam. Tak terucap satu kata pun dari bibirnya.
Di
gode-gode, sepulangnya dia dari jembatan, Caesar duduk termenung seorang diri
memikirkan bidadari yang berlalu dengan derai tangisnya. Dia terdiam sambil
memandangi gode-gode ‘La Rou’ yang tertata rapi di depannya. Dia berbaring
sambil melamun. Hingga, karena terlalu dalamnya dan tenangnya perenungannya,
Caesar lalu tertidur dibuatnya. Caesar terlelap di tempat itu untuk sesaat.
Hanya sesaat. Karena tak berapa lama dia terbangun dari tidurnya setelah
sentuhan jemari tangan membangunkannya. Caesar bangkit dari posisi baringnya.
Mengocok-mengocok matanya yang belum jelas betul dalam melihat. Dan, setelah
penglihatannya jelas, tampak di hadapannya sesosok bidadari dengan mata masih
bengkak karena tangisnya sebelumnya berdiri tertunduk di hadapannya. ‘ dari
mana kamu tahu saya di sini?’ tanya Caesar. ‘ saya tidak rela meninggalkan kamu
berdiri sendiri di ujung jembatan. Apalagi teman-temanmu dari Mabes tidak ada
di tempat itu ketika kau di sana.’ Jawab bidadari itu. ‘ kalau begitu, saya
minta maaf pada kamu.’ Kata Caesar. ‘ Kang!’ suara bidadari itu. ‘ Kang tidak
perlu minta maaf pada saya, justru harusnya saya yang meminta maaf pada Kang.’
Kata Bidadari itu. ‘ sudahlah, lagipula saya telah salah memberikanmu harapan
untuk sebuah cinta.’ Jawab Caesar. ‘tapi, kan...’suara kecil dari bidadari itu.
‘ tidak ada tapi-tapi, saya yang minta maaf!’ tegas Caesar. ‘tapi saya sudah
menampar wajah Kang. Tidak sepantasnya saya melakukan itu pada orang yang sudah
meninggikan saya seperti selayaknya seorang Bidadari.’ Jawab Bidadari itu. ‘
sudahlah! Saya menikmati tamparan itu, sangat halus dan bermakna.’ Jawab
Caesar. Lalu setelah itu mereka saling tertawa kecil. Dan dunia seketika
menjadi selebar daun kelor....
yah, kurang lebih seperti itu.” Kata Caesar.
La Otde, Andi, dan
anggota-anggota lainnya di tempat itu hanya bisa terperangah mendengar jawaban
dari kisah Caesar ini. Mereka benar-benar terngangah seperti baru saja
disuguhkan kisah kompleks tentang dua anak manusia seperti dalam kisah Rabiah
Al-Adawiah yang termahsyur itu. Hanya beberapa dari anggota-anggota MABES
sajalah yang tidak terpesona dengan kisah Caesar yang baru saja dia kisahkan.
Alan, Farlin, Abang Phyton, dan Laade, mereka yang tidak sama sekali terpesona.
“ apakah betul yang baru
saja kamu kisahkan itu, Caesar?” tanya Andi. “ jika seandainya betul, saya
benar memberikan jempol padamu. Kisahmu yang barusan jauh lebih masuk akal dari
banyak kisah yang pernah kamu ceritakan pada saya sebelumnya. Lebih meyakinkan
dari kisah kamu mendadak menjadi tukang listrik seperti yang kamu ceritakan
tempo hari.”
“ itu betul.” Jawab
Caesar lalu menunjuk pada salahsatu sudut pagar Masjid besar. “ di sana! Tepat
di sana saya menunggu bidadari itu keluar dari masjid.”
“ hm, lalu, kenapa kamu
tidak melintas saja di depan markas MABES? Biar kami bisa melihat bidadari yang
kamu maksudkan?” Tanya lagi Andi.
“ tidak bisa, kalau
demikian, kalian akan cemburu pada saya, dan tentunya akan irih pada saya.”
Jawab tenang Caesar sambil tersenyum. “ makanya itu, untuk kejembatan setelah
shalat isya, saya lebih memilih memutar dari arah sana ketimbang harus melintas
depan ini.”
“ kamu benar berada di
ujung jembatan?” tanya Andi pada Caesar.
“
yah, tentu saja saya tepat berada di ujung jembatan.” Dengan santainya
menjawab.
Andi berpikir sejenak. “
apa kamu lihat Farlin dan Laade beserta Abang Phyton di jembatan?” tanya Andi.
Caesar diam untuk
sesaat. Tak bersuara, juga tak bergerak. Bibirnya sedikit terhenti mendengar
pertanyaan itu. Tapi pikirannya menganggap itu bukan masalah. “ waktu itu
gelap, dan orang ramai sekali,” katanya. “makanya itu saya tidak tahu sama sekali
wajah-wajah orang yang ada di tempat itu.”
Mata Farlin menatap
tajam pada Laade dan Abang Phyton. Tepat lurus ke arah keduanya. Begitu pun
Abang Phyton, matanya juga secara bergantian menatap Laade dan Farlin. “ kami
bertiga tadi juga ada di jembatan, juga berhenti di ujung jembatan. Tapi saya
tidak lihat Caesar ada di situ.” Kata Abang Phyton lalu menatap tajam kepada
Caesar.
“ iya, saya juga tidak!”
kata Laade.
“ ada saya, saya mungkin
belakangi kalian waktu itu.” Jawab Caesar.
“ mungkin,” kata Farlin.
“ waktu di jembatan tadi kamu melihat seorang laki-laki memakai jacket sedang
duduk bersama seorang perempuan.” Lanjut Farlin.
Caesar lalu meninggikan
dagunya. “ah... yang kalian lihat itu sudah saya!” katanya. “ dia memakai
jacket besar, ‘kan?”
“ sepertinya. Agak
keputih-putihan.” Jawab Farlin.
“ cocok, itu pasti
saya!”
“ saya juga lihat orang
yang memakai jacket itu,” kata Abang Phyton. “ tapi bukan di ujung jembatan.”
Katanya.
“ itu pasti saya!” lalu
menarik napas dalam-dalam. “ saya salah bercerita tadi. Maksud saya bukan di
ujung jembatan, tapi di pertengahan jembatan, mendekati ujung.” Kata Caesar.
Abang Phyton hanya
terdiam. Memiringkan kepalanya sedikit ke bahu kanannya sambil tetap menatap
Caesar. “ betul yang kamu bicarakan itu?”
“ betul sekali!” kata
Caesar. “ saya pakai pakaian seperti ini waktu di jembatan tadi itu.”
Laade lalu mendekati
Caesar. Lirih berkata. “ saya juga, saya juga lihat orang yang memakai jacket
besar.” Katanya dengan yakin. “ hanya saja, orang itu celananya tidak
tergantung seperti celanamu sekarang, orang itu memakai celananya sampai
menyentuh sendalnya.” Lalu menunjuk pada celana Caesar sekarang yang dipakai
menggantung kerena style Caesar
menggulung sebagian celananya keatas perut.
Caesar kaget mendengar
ucapan Laade. “ oh,” jawabnya singkat. “ kalian semua kan tahu kalau kita
ketemu perempuan harus rapi, makanya tadi itu saya turunkan lipatan celanaku
sampai menyentuh sendal. Supaya bidadari itu tidak rikuh dengan penampilanku”
“ ha ha...” Laade
tertawa.
Di susul kemudian tawa
dari anggota yang lainnya. “ saya curiga.” Kata Laade. “ saya lihat, sepertinya
sedari tadi kamu berbohong.”
“ saya tidak bohong!”
Caesar membela diri. “ saya tadi turunkan lipatan celanaku sampai menyentuh
sandal karena saya jaga imej pada
Bidadari itu.”
“ saya juga mulai tidak
percaya.” Kata Andi.
“ apa dasar kalian?”
Sambil menunjuk celana
Caesar, Laade lalu memalingkan pandangannya pada alas kaki Caesar. “ kamu
bilang tadi itu menggulung celana sampai menyentuh sendal, iya ‘kan?” katanya
pada Caesar.
“ iya betul!”
“ terus ini apa?” tanya
Laade sambil mengelus-ngelus sepatu Caesar. “ ini sepatu!”
Farlin dan Andi hanya
bisa menggeleng-gelengkan kepala mereka berdua. Mungkin betul curiga Laade.
“ karena yang di
jembatan itu bukan kamu.” Jawab Laade.
“ potong leherku kalau
yang kalian lihat itu bukan saya!”
Ucap Caesar.
“ serius, mau di
potong?” kata Laade. Matanya tajam memandangi Caesar. Sementara tangannya siap
mencengkram.
“ jangan! Tidak jadi.”
Sambil mencoba menepis tangan Laade yang mengarah pada lehernya.
“ kamu jawab yang
serius!” desak Andi. “ yang di jembatan itu sebenarnya kamu atau bukan?”
kemudian disusul oleh tatapan dari orang-orang lainnya yang sedari tadi
menguping sambil membanting kartu-kartu domino
mereka pada papan tripleks. Dan seketika, Caesar menjadi terpojok.
Caesar tidak menjawab.
Ia hanya berpaling kembali pada Laade menghindarkan wajahnya dari tatapan Andi.
“ Laade!” katanya. “ masa kamu tidak sedikit pun percaya dengan saya?” lalu,
dengan sedikit nada keraguan, serangkai kalimat yang berbau tanda tanya pun
keluar dari ucapnya. Kata yang tegas namun meragukan. “ kalau kamu dan yang
lainnya tidak percaya sama saya,” matanya lalu melihat tajam sekelilingnya pada
pandangan-pandangan yang memaksanya. “ sini kita sama-sama pergi di
gode-godenya La Rou, kita lihat bekas tempat dudukku dengan bidadari itu masih
hangat dan masih panas.”
“ tidak mungkin, sudah
cukup lama kita di sini, hangatnya pasti sudah termakan dinginnya malam.”
Potong Farlin.
“ iya, sepertinya tidak
mungkin.” Kata Alan yang juga sedari tadi mengamati dengan seksama kisah Caesar
yang dinilainya bernilai fiktif belaka.
“ ayo, kita kesana
sekarang!” ajak Laade. “ barangkali masih ada tanda bukti yang lain yang bisa
buktikan kisah Caesar di gode-gode itu.” Lalu menarik secepat kilat lengan
Caesar.
Caesar menepis pegangan
Laade. “ sabar!” katanya. kemudian berpikir sejenak.
“ tunggu apalagi?” paksa
Laade. Lalu kembali menarik lengan Caesar.
“ tunggu,” menepis
kesekian kalinya.
“ ayo!”
“ tunggu!”
“ ayo!”
“ tunggu,”
Terjadi tarik ulur yang
cukup lama antara Caesar dan Laade. Sementara yang lainnya sibuk menyaksikan
keduanya.
“ kita pergi lihat
gode-gode itu tanpa Caesar!” kata Abang Phyton memberi solusi.
Laade berhenti sejenak
menarik-narik Caesar. Seketika lalu tuntas berpikir. “ Ayo kita pergi!” matanya
lalu memandang Caesar. “ kamu tunggu saja di sini.” Perintahnya pada Caesar.
Seketika, semua pemain
domino yang melantai pada papan tripleks meluber keluar dari gode-gode, bubar
dari permainan mereka untuk kemudian mengikuti saran dari Abang Phyton menunjau
lokasi yang menurut versi Caesar baru saja dia datangi dan bercumbu dengan
seorang bidadari di tempat itu. “ ayo, kita ke gode-godenya La Rou sekarang!”
teriak salahseorang dari mereka. Semuanya lalu memakai sendalnya masing-masing.
Berduyun-duyun meninjau TKP. Ingin melihat secara langsung bagaimana lokasi
tempat dan latar yang digunakan oleh Caesar tersebut. Semuanya, tanpa
terkecuali telah siap tancap gas.
“ kamu bagaiamana,
Caesar, mau ikut kami atau tidak?” ajak Laade kesekian kalinya.
Caesar hanya tunduk
gemetar melihat ulah anggota-anggota yang di pimpinnya itu. Terdiam sejenak. “
OKE, saya juga ikut.”
Seketika semua menjadi hikmah. Seperti para
buruh yang akan cuti, mereka bersama-sama menuju TKP yang dimaksud dengan
bahagianya, tidak terkecali Alan. Markas MABES pun menjadi kosong sejenak
karena di tinggal sementara semua pencintanya.
***
Bersambung...

Tidak ada komentar:
Posting Komentar